Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi

Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi
Pohon Melai

Senin, 30 April 2012

MAHISA CEMPAKA ADALAH RAJA LIYA MULAI TAHUN 1252 – 1267 MASEHI


OLEH : RAHEN


MAHISA CEMPAKA sebagai  Raja Liya Tahun 1252-1267 Masehi.
“Diceritakan dalam kitab Pararaton: ketika Tohjaya minta pendapat dari para mantri, Nhayaka dan Pranapaja tentang sosok kedua keponakannya yakni ‘Ranggawuni anak dari Anusapati, cucu Ken Dedes dengan Tunggul Ametung’ serta ‘Mahesa Cempaka putra Maahisa Wonga Teleng, cucu Ken Dedes dengan Ken Arok’. Para Nhayaka kemudian berpendapat jika mereka berdua-red tak ubahnya seperti duri dalam daging yang lambat laun — hanya menunggu saat tepat — dan, jika ada kesempatan mereka pasti akan balas dendam dan merebut tahta yang sesungguhnya masih hak mereka.”
Maka Tohjaya segera menyuruh senopati Lembu Ampal untuk melenyapkan mereka berdua. Dengan satu ancaman “Jika mereka berdua (Ranggawuni dan Mahisa Cempaka) tidak mati. Maka, sebagai gantinya adalah nyawanya Lembu Ampal sendiri”
Masih dalam naskah pararaton: diceritakan, konon rencana pembunuhan yang akan dilakukan Lembu Ampal tersebut tercium oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sehingga mereka berdua pun menyembunyikan diri.

Al-hasil Lembu Ampal pun gagal melaksanakan tugasnya. Karena tak menemukan buruannya dan ia ketakutan sendiri — karena “kegagalan” artinya sama dengan kematian. Lalu, ia pun menyembunyikan diri. Namun, dalam persembunyiannya Lembu Ampal tak sengaja, justru bertemu dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dan Lembu Ampal pun berserah, minta ampun dan berbalik mengabdi pada mereka berdua.

Selanjutnya berkat siasat Lembu Ampal — Dengan menghasut segenap warga; mengadu domba antara orang-orang Rajasa dengan orang-orang sinelir maka terjadilah huru-hara dikerajaan, sampai akhirnya ditengah-tengah huru hara tersebut Tohjaya ditemukan dalam keadaan tewas, terbunuh.

Selanjutnya Ranggawuni pun naik tahta. Menjadi Raja Singasari ke 3 ia bergelar Wisnuwardhana. Dan, memimpin Singasari bersama sama Mahisa Cempaka yang bergelar Narasingmurti, selama 14 tahun .

Rangga Wuni dan Mahisa Cempaka adalah “Dwi tunggal” (satu kesatuan yang tak terpisahkan) yang dapat menyatukan dua kubu antara keturunan Ken Arok dengan keturunan Tunggul Ametung yang sama-sama berasal dari Ken Dedes. Mereka berdua sama-sama menyebut dirinya sebagai Raja dalam satu kerajaan dan mereka pun saling menghormati satu sama lainnya. sehingga suksesi berikutnya pun tak ada lagi pembunuhan berdarah. Dimana Kertanegara anak dari Rangga wuni pun naik tahta menjadi Raja ke 4 Singasari, dengan damai dan tentram. Dibantu oleh putra Mahisa Cempaka yakni Dyah Lembu Tal, yang saling bekerja sama, bahu membahu.

adalah anak  Ken Dedes dari suaminya yang bernama Ken Arok, sedangkan Rangga Wuni adalah anak Ken Dedes dari suami pertamanya, yakni Tunggul Ametung. (dianalisa berdasarkan rekonstruksi sejarah dari membaca semua yang tertulis, baik di alam, di batu, prasasti, lontar, internet, & buku-buku)
Pada waktu bersamaan (setelah wafatnya Anusapati) keduanya sama-sama menjadi raja (MAHISA CEMPAKA DAN RANGGA WUNI) ; keduanya adalah Raja Singosari dalam waktu bersamaan (1 tahta dijalankan oleh 2 orang raja, dimana keduanya adalah saudara sepupu sekali).

Seiring perjalanan waktu, ditambah dengan intrik atau pergerakan politik dalam Kerajaan Singosari, Mahisa Cempaka mengundurkan diri sebagai Raja Singosari. Beliau kemudian memutuskan "mendatangi" kerajaan leluhurnya. Nah.., kerajaan leluhurnya itu insya ALLAH adalah Kerajaan Liya.

Fakta adalah sebagian besar nama-nama tempat di Pulau Wangi-Wangi atau wangi (ng) & Kepulauan Tukang Besi adalah berasal dari bahasa Sanskrit atau Sansekerta. Makam Mahisa Cempaka pun insya ALLAH terletak di depan masjid Keraton Liya. Ini benar-benar dapat diuji secara ilmiah.
"Tumpukan batu" itu sendiri (yang ditondo & ditinggikan) insya ALLAH merupakan makam 3 atau 5 orang anggota dinasti WANGSA RAJASA (dinasti-nya KEN AROK), termasuk makam MAHISA CEMPAKA.

Bagaimana cara membuktikannya secara ilmiah pernyataan saya terakhir itu..?

Mudah saja, sisa kita menentukan (menghitung atau men-"dating", bagusnya dengan teknik metode isotop carbon atau unsur radio aktif tertentu berapa persisnya umur tumbuhan bunga cempaka (bunga kamboja) yang tumbuh di atas "tumpukan batu" yang terletak di belakang "Makam Jilabu".

Insya ALLAH umur salah satu pohon cempaka atau kamboja yang ada di sana umurnya (sudah tumbuh selama..) adalah: 751 tahun.

Mungkin umurnya tidak akan didapat persis seperti itu. Namun, insya ALLAH range umur hasil "dating" yang akan didapat adalah sekitar 700 sampai 800 tahun.

Silahkan kita ajak para ahli botani (tumbuh-tumbuhan), paleontologi, & fisika "inti" untuk menghitung atau men-"dating" berapa lama sudah pohon-pohon itu bertahan hidup.

Di sekitar gua tersebut mungkin bakal kita temukan makam raja-raja lainnya. Namun, makam MAHISA CEMPAKA (perabuannya) adalah terletak di "tumpukan batu" yang ada di belakang "Makam Jilabu". ****

SI PANJONGA MENGUKIR KEEMASAN KERAJAAN LIYA MULAI TAHUN 1293 - 1295 MASEHI

OLEH : RAHEN




SIPANJONGAN adalah penguasa atau Raja dari Johor Semenanjung Malaka yang terakhir yang datang ke negeri Liya dalam rangka mengasingkan diri dari pelariannya oleh pengejaran tentara Mongol.  Pasukan Mongol ketika itu datang menyerbu istananya  dan dikabarkan bahwa dia wafat pada saat itu, namun yang benar adalah Si Panjongan mengasingkan diri menuju Liya dan yang meninggal adalah seorang abdi setianya yang menyamar sebagai beliau dan dibunuh oleh tentara Mongol. SI PANJONGAN diambil dari asal kata “jonga” atau yang dipayungi adalah diperkirakan merupakan Raja Liya  setelah SI Malui, Si Tamanajo, Bau Besi (Raden Jutubun) dan Mahisa Cempaka. Si Panjongan menjadi Raja di pulau Liya  diperkirakan mulai Tahun 1268 s/d 1295 Masehi. Keberadaan Si Panjongan di Liya sebagaimana disebutkan dalam Hikayat Sipanjongan oleh Hasaruddin (2006) dalam bukunya : Naskah Buton, Naskah Dunia. Dalam Hikayat tersebut yang ditulis oleh seorang pedagang banjar 1267 H mengatakan bahwa Si Panjongan pernah menjadi Raja di Pulau Liya sebagai seorang yang dermawan dan memiliki harta yang banyak serta saudara yang banyak. Adapun leluhur SI Panjonga adalah seorang Ulama terbesar sepajang masa, juga yang termulia di tanah Arab (mekkah).  SI Panjonga  menikah dengan saudara Si Malui  yang bernama Si Sabanang yang melahirkan Betoambari sebagaimana dikisahkan oleh Susanto Zuhdi (1999) dalam bukunya : "Labu Rope, Labu Wana  : Sejarah Buton Abad ke XVII-XVIII, Universitas Indonesia (tidak diterbitkan).

WA KAA KAA menikah dengan SIBATARA atau dikenal dengan nama ARDHA-RAJA (“RAJA di BUMI”) yang merupakan anak dari JAYAKATWANG sebagai Raja Kediri (oleh orang-orang MONGOL yang KONON “MENYERANG” kerajaannya, yaitu KERAJAAN KEDIRI, beliau dikenal sebagai AJI KATONG, atau JAYAKATYENG; sedang berita Cina menyebutnya dengan nama HAJI KATANG). BETOAMBARI merupakan Patih Amangkubhumi (“Patih yang mem-‘paku’ atau menancapkan SESUATU di BUMI”) di KERAJAAN MAJAPAHITBETOAMBARI menikah dengan adik dari SIBATARA atau ARDHA-RAJA (saat ini turunannya sebagian besar menetap di “NEGERI LIYA” atau Pulau LIYA (pulau OROHO) yang sekarang ini berada dalam wilayah KABUPATEN WAKATOBI.


BETOAMBARI, merupakan seorang NEGARAWAN BESAR, dimana sebenarnya beliau-lah yang menjadi pengendali KERAJAAN MAJAPAHIT pada masa-masa keemasannya yang selanjutnya kerajaan tersebut menjadi “pudar” setelah wafatnya beliau. BETOAMBARI, merupakan seorang MUSLIM yang SANGAT TAAT melaksanakan AJARAN ISLAM, namun karena “kondisi” menjadikannya terpaksa menyembunyikan ke-ISLAM-an-nya, sekaligus sebagai bentuk & perwujudan RASA TOLERANSI yang sangat tinggi & mulia terhadap masyarakat KERAJAAN MAJAPAHIT yang berbeda “KEYAKINAN” dengannya. BETOAMBARI,  adalah penulis dari kakawin Negarakartagama yang termasyhur, berdasarkan pengalamannya langsung selama MENJELAJAH (ber-EKSPLORASI) untuk mempersatukan NUSANTARA.

Selain diberi nama (“kode”) Negarakaṛtâgama (“Negara dengan agama yang suci, yaitu: ISLAM”), BETOAMBARI juga memberi nama kakawin yang ditulisnya sebagai Deśawarṇana (“Penulisan tentang Daerah-Daerah”). Judul sebenarnya (PESAN TERSIRAT yang sebenarnya ingin disampaikan BETOAMBARI kepada orang-orang BUTUN hari ini), sekali lagi, JUDUL SEBENARNYA dari kakawin tersebut seharusnya adalah: “DAERAH-DAERAH YANG MERUPAKAN WILAYAH KERAJAAN BUTUN”.

Jika tidak memakai STRATEGI seperti itu, kemungkinan besar kakawin yang dibuat BETOAMBARI tidak akan selamat dari “kejaran” PARA MANUSIA-MANUSIA KURANG AJAR, terlebih juga saat itu kebencian agama-agama tertentu terhadap ISLAM sedang mencapai puncaknya, & lebih-lebih lagi oleh VOC & BELANDA. BETOAMBARI juga ber-STRATEGI seolah-olah kakawin yang dibuatnya hanyalah merupakan SASTRA pujian untuk keluarga besar HAYAM WURUK (yang sebenarnya adalah keluarga besarnya juga, namun berbeda dalam hal “KEYAKINAN”), & bukan tentang BATAS-BATAS WILAYAH & KEBESARAN KERAJAAN BUTUN. Bahkan, BETOAMBARI memasang “nama pena” di kakawinnya sebagai MPU PRAPANCA (kata “prapañca” artinya adalah ‘bingung’) & memasang tahun 1365 sebagai tahun penulisan kakawin itu untuk benar-benar membuat bingung semua orang, kecuali benar-benar KETURUNAN-nya langsung. BETOAMBARI sendiri meninggal tahun 1364 & dikuburkan di daerah Betoambari yang berada dalam pusat pemerintahan KERAJAAN BUTUN yang didirikan ayahnya, yakni: SIPANJONGA.


Kakawin Negarakartâgama pertama kali “ditemukan” kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. BRANDES, seorang ahli SASTRA JAWA dari BELANDA yang ikut “mengiringi” (MENYERBU) istana Raja Lombok di CAKRA-NAGARA dalam suatu “ekspedisi” TENTARA KNIL di Lombok (yang SEBENARNYA adalah mereka BENAR-BENAR meng-eksplorasi untuk mencari keberadaan kakawin yang ditulis BETOAMBARI, setelah membaca & menterjemahkan “simbol-simbol” (“kode”) dalam kisah-kisah yang tertuang dalam BABAD TANAH JAWI. Kakawin Negarakartâgama “semula dikira” hanya TER-WARIS-KAN (dalam bahasa BUTUN diucapkan sebagai “WAKAF”) di dalam sebuah naskah tunggal. J.L.A. Brandes “menyelamatkan” isi perpustakaan Raja Lombok di CAKRA-NAGARA yang berisikan ratusan naskah lontar (SALAH SATUNYA adalah lontar Negarakartâgama), sebelum istana sang raja DIBAKAR oleh TENTARA KNIL SEMUA NASKAH “dari Lombok” dikenal dengan nama lontar-lontar “KOLEKSI LOMBOK” yang SANGAT TERMASYHUR & disimpan di perpustakaan UNIVERSITAS LEIDEN, Belanda (hahaha.., sepandai-pandainya “MEREKA” mau ber-tipu muslihat & ber-BUAT KOTOR, pada akhirnya suatu ketika tetap akan terbongkar juga ***…


Kita coba PAUSE (rehat sejenak) untuk merenungkan RAHASIA-RAHASIA asal muasal KERAJAAN LIYA yang sudah mulai terungkap, walau baru sedikit di atas. SIAPAKAH YANG HARUS PERGI MENJEMPUT SEMUA ITU DI KERAJAAN BELANDA sana dari tangan sang Ratu Beatrix dan Wilhelmina Armgard..****

CATATAN :
Menari juga diskripsi sejarah riwayat Si Panjongan yang direlis oleh Rahen ini dan tentu akan banyak kontroversial dengan sejarah lain yang telah ada. Tak apa digunakan sebagai perbendaharaan dan sebagai pembanding agar wawasan dan cara berpikir kita lebih lagi serius dalam mendalami segala permasalahan sejarah budaya buton yang serba unit dan tendensial. Akan dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji kebenaran kisah ini.