Oleh : Ali Habiu *)
Siapa itu Gajah Mada…??
Leo Suryadinata mengakui, sejarah awal kehidupan Gajah Mada tidaklah begitu jelas. Namun, Encarta Encylopedia berani memperkirakan Gajah Mada lahir tahun 1290 M.
Jadi, ia lahir dan besar tatkala terjadi transisi antara kekuasaan
Raden Wijaya kepada Jayanagara. Pembacaan atas tokoh Gajah Mada kerap
dihubungkan dengan dimensi supernatural. Ini sulit dihindari, oleh sebab
masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, memang menilai tinggi dimensi
tersebut. Berdasarkan petunjuk spiritual menyebutkan bahwa Gajah Mada
merupakan anak pertama dari pasangan Si Jawangkati dengan Lailan
Mangrani. Sijawangkati merupakan pembantu Si Malui dan adiknya bernama
Si Baana dan sebagai manusia yang kedua datang di pulau Buton. Si
Jawangkati dating ke pulau Buton menemani Si Malui dan Si Baana pada
hari bulan sya’ban tahun 634 Hijriah dengan menumpangi behtera kapal
bernama “Popanguna” berbenderakan Buncaha yakni bendera dengan motif
warna kuning hitam selang-seling yang tak lain adalah bendera kerajaan
asal leluhurnya dari daerah Bumbu negeri Melayu Pariaman. Pada akhir
tahun 1236 M, Si Jawangkati beserta tuannya terdampar di sebelah utara
timur laut Buton yakni “kamaru” dengan bentengnya bernama “Wonco”. Si
Jawangkati dengan memimpin rombongan kecil berpamitan dengan Si Malui
dan Si Baana untuk mencari daerah hunian baru dan setelah ditemukan
hunian ini bernama “Wasuembu”. Setelah menemui tempat baru ini Si
Jawangkati langsung membuat perkampungan serta benteng pertahanan
bernama “Koncu” di Wabula. Tak lama berselang kedatangan Si Jawangkati
di pulau Buton, maka datanglah serombongan para anak-anak bangsawan dari
pulau Jawa. Anak-anak bangsawan tersebut tak lain adalah Raden
Sibahtera, Raden Jutubun dan Lailan Mangrani yang merupakan anak-anak
dari Raden Wijaya sebagai Raja Mataram sebelum gabung dengan Majapahit.
Kedatangan ketiga anak-anak Raden Wijaya tersebut bukan tidak beralasan,
mereka dating atas petunjuk ghaib yang diterima oleh dukun atau
penasehat istana kerajaan Majapahit untuk memerintahkan anak-anak Raden
Wijaya tersebut mencari suatu pulau yang terdapat di Wilayah Timur
Nusantara bernama pulau Buton. Setelah menemui pulau Buton ketiga
anak-anak Raden Wijaya diperintahkan untuk membangun Bandar perniagaan.
Kedatangan putra putrid Raja Majapahit itu menggunakan dua Armada antara
lain satu armada dipimpin oleh Raden Sibahtera dengan adiknya Lailan
Mangrani disertai dengan 40 pengikutnya, sedangkan armada yang satu
dipimpin oleh Raden Jutubun beserta 40 pengawalnya. Kedua armada
tersebut masing-masing membawa bendera leluhurnya yang dipasang
diburitan kapal dengan warna bendera merah putih dan bendera ini dinamai
“dayialo”. Kedua armada ini setelah tiba di laut Buton selanjutnya
disambut oleh Si Jawangkati dan Si Tamanajo di teluk Kalampa tempat
kedua armada tersebut berlabuh. Tak lama berselang beberapa tahun
kemudian setelah Raden Sibahtera telah dinobatkan menjadi Raja Pertama
Buton dengan permaisurinya bernama gelar Wa Kaa Kaa atau nama aslinya
Mussarafatul Izzati Al Fakhriy, maka kawinlah Si Jawangkati dengan
Lailan Mangrani. Hasil dari perkawinan Sijawangkati dengan Putri Raden
Wijaya di pulau Buton ini membuahkan 3 (tiga) orang anak, yakni 2 (dua)
laki-laki dan 1 (satu) perempuan. Nah..., anak pertama Si Jawangkati
bersama Lailan Mangrani ini adalah seorang bayi yang cukup besar dan
berparas jelek dan diberi nama Gajah Mada. Mulai umur 3 tahun Gajah
Mada ini memiliki kelebihan-kelebihan luar biasa baik secara kekuatan
fisik maupun instinksi dan setelah usia mencapai 7 tahun maka dilatihlah
oleh ayahnya ilmu kanukragan dan ilmu kesaktian. Perlu diketahui bahwa
Si Jawangkati ini adalah seorang amat sakti dari asal keturunan para
wali negeri melayu. Kemudian setelah ilmu kanukragan dan ilmu kesaktian
telah diturunkan oleh ayahandanya kepada Gajah Mada, genap usia 15 tahun
Gajah Mada di bawalah ke pulau Jawa oleh ibunya Lailan Mangrani untuk
membantu Raden Wijaya dalam kesulitan melawan para pemberontak asal dari
dalam lingkungan kerajaan Majapahit. Disanalah awal kisah Patih Gajah
Mada dalam peranannya membantu neneknya sendiri yakni Raden Wijaya untuk
memberantas para penjahat dalam lingkungan dalam kerajaan. Leo
Suryadinata menulis, Gajah Mada mengandalkan intelijensi, keberanian,
dan loyalitas dalam meraih mobilitas vertikalnya. Karirnya lanjutannya
adalah kepala pasukan Bhayangkara, pasukan penjaga keamanan Raja dan
keluarganya. Raja yang menjadi junjungannya saat itu adalah Jayanagara
yang berkuasa di Majapahit sejak 1309-1328 M. Menjadi mungkin, Gajah
Mada telah meniti karir militer sejak kekuasaan Raden Wijaya, raja
pertama Majapahit, dan sedikit banyak memahami spirit pemerintahannya.
Jayanagara ini adalah putra pasangan Raden Wijaya dengan seorang putri
Sumatera (Jambi) bernama Dara Petak. Sebab itu, darah yang mengalir di
tubuh Jayanagara bukanlah pure Jawa. Anggapan yang relatif rasis ini
merupakan fenomena sebuah kancah politik hegemoni dalam kekuasaan aneka
suku bangsa tatkala itu. Buktinya, pernah tahun 1316 M muncul
pemberontakan Nambi yang menurut gimonca.com muncul akibat sentimen
"darah" Jaya Nagara tersebut. Meski pemberontakan itu berhasil
dipadamkan, seolah sesuatu yang laten (faktor rasisme) 'menyala' dalam
politik Majapahit ini. Tatkala Gajah Mada jadi kepala pasukan
Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti, salah satu pejabat istana
tahun 1319 M. Pemberontakan ini cukup menohok, oleh sebab si pemberontak
mampu menduduki ibukota. Jayanagara berikut istri Raden Wijaya dan
putrinya (Tribhuwanattungadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita)
mengungsi ke Bedander. Selaku kepala pasukan keamanan, Gajah Mada
memastikan keamanan raja dan keluarga. Setelah dinyatakan save, ia
berbalik ke ibukota guna menyusun serangan balasan. Ia meneliti
kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit kepada Raja Jaya Nagara dengan
memunculkan isu keterbunuhan raja. Menurut anggapannya, raja dan
sebagian besar pejabat Majapahit menyayangkan kematian raja dan membenci
perilaku Ra Kuti. Atas dasar ini, Gajah Mada menyusun serangan balasan
secara kemiliteran, dan berhasil membalik keadaan. Pemberontakan Kuti
pun dipadamkan. Raja dan keluarganya kembali ke ibukota. Kebijakan
Jayanagara ditopang oleh kemampuan politik Arya Tadah, mahapatih
Majapahit. Fokus kebijakan raja dan mahapatih ini adalah stabilitas
politik dalam negeri. Jadi, Majapahit belum lagi melakukan penaklukan ke
pulau-pulau "luar" Jawa. Ini mengingat Gajah Mada belum memegang peran
penting di dalam pembuatan keputusan politik level negara. Atas jasanya
memadamkan pemberontakan Kuti, Jayanagara menaikan status Gajah Mada
dari sekadar komandan pasukan Bhayangkara menjadi menteri wilayah
(patih) dua daerah kekuasaan Majapahit: Daha dan kemudian, Jenggala.
Posisi tersebut cukup berpengaruh mengingat dua wilayah tersebut
diwenangi oleh putri Tribuwanattunggadewi (Daha) dan Dyah Wiyat
(Jenggala), dua saudari tiri Jayanagara. Jayanagara sendiri belumlah
memiliki putra laki-laki selaku penerus tahta. Bukti mengenai hal ini,
seperti ditulis Heritage of Java, sebuah enskripsi bernama Walandit
menceritakan gelar Gajah Mada dalam kekuasaan barunya itu adalah Pu
Mada. Wilayah yang diwenangi kepatihan Gajah Mada adalah Jenggala-Kediri
yang meliputi Wurawan dan Madura. Loyalitas Gajah Mada terhadap
Jayanagara tidaklah tetap. Versi cerita seputar perubahan loyalitas
tokoh ini pada rajanya, paling tidak ada tiga. Seluruhnya berorama motif
pribadi. Pertama, dari Charles Kimball yang menulis, loyalitas Gajah
Mada terhadap Jaya Nagara mengalami titik balik tatkala raja mengambil
istri Gajah Mada selaku haremnya. Kedua, Kitab Negara Kertagama olahan
Empu Prapanca menulis, perubahan loyalitas Gajah Mada akibat mulai jatuh
hatinya Raja Jayanagara terhadap dua saudari tirinya:
Tribuwanattunggadewi dan Dyah Wiyat. Empu Prapanca ini akrab dengan
Gajah Mada sendiri. Ketiga, novelis Langit Kresna Hariyadi, yang menulis
loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara berubah akibat kekhawatian
Gajah Mada atas mulai berubahnya sikap raja terhadap
Tribhuwanattunggadewi. Ketiga asumsi tersebut melatarbelakangi proses
meninggalnya Raja Jayanagara tahun 1328. Versi meninggalnya Jayanagara
pun berlatar belakang loyalitas Gajah Mada pada Jayanagara. Versi
Kimball menyatakan, Gajah Mada menskenario pembunuhan atas Jaya Nagara
dengan memanfaatkan tangan Ra Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa
membunuh Jaya Nagara akibat suruhan Gajah Mada dalam suatu proses
pembedahan atas diri raja. Versi ini didukung pula oleh pendapat Leo
Suryadinata, yang juga menulis kekecewaan Gajah Mada akibat istrinya
diambil oleh raja sebagai motif asasinasi. Setelah raja meninggal, Gajah
Mada menuding Tanca ini telah membunuh raja dan ia pun dieksekusi mati
olehnya sendiri. Peristiwa 1328 M ini menggambarkan rumitnya politik
pada aras Palace Circle. Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib dan
masa depan suatu negara. Pada masa terbunuh dan digantinya Jayanagara
ini, Odoric dari Pordonone, pendeta ordo Fransiskan dari Italia
mengunjungi Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Setelah terbunuhnya
Jayanagara, Gajah Mada berkeras Tribhuwanattunggadewi dijadikan ratu
Majapahit. Belum ditemukan bukti yang cukup seputar alasan kekerasan
hati Gajah Mada atas penunjukan ini. Namun, dari analisis ras, Gajah
Mada mungkin khawatir singgasana akan jatuh pada Arya Damar, keturunan
Raden Wijaya dari istri yang asal Jambi. Sementara,
Tribhuwanattunggadewi adalah putri keturunan Raden Wijaya asli pulau
Jawa. Mungkin saja, opini yang muncul saat itu adalah putra asli atau
bukan. Atau, dimungkinkan pula, dengan beralihnya kekuasaan pada ratu
ini, Gajah Mada lebih leluasa dalam mengambil tindakan. Konflik suksesi
ini terbukti dengan baru dilantiknya Ratu Tribhuwanattunggadewi tahun
1329, sekurang-kurangnya menurut Charles Kimball. Pemimpin perempuan
Majapahit ini berkuasa sejak 1329 hingga 1350 M. Pada fase ini,
Majapahit memulai fase penaklukannya. Mahapatih Arya Tadah pensiun tahun
1329 M, dan praktis posisi tersebut jatuh ke tangan Gajah Mada.
Tribhuwanattunggadewi sangat mendukung program-program Gajah Mada. Tahun
1331 M meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di wilayah timur Pulau
Jawa. Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana dan berhasil
memadamkan pemberontakan wilayah tersebut. Ra Kembar, salah satu
bangsawan dan pejabat Majapahit berusaha menutup jalan pasukan Gajah
Mada ke wilayah Sadeng, baik secara politik maupun militer.
Dimana Gajah Mada Wafat….?
Beberapa
referensi menyebutkan bahwa Gajah mada wafat tahun 1364 M, akibat
diasingkan dan dihianati oleh Hayam Wuruk sebagai suatu buntut peristiwa
BUBAT dimana Gajah Mada di singkirkan ke wilayah Madakaripura dan hidup
Gajah Mada di wilayah itu asketis (setabasri01.blogspot.com) Terdapat
sejumlah tulisan yang menyebut bahwa ia menderita sakit ataupun dibunuh
oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) sendiri yang khawatir akan pengaruh
politik Gajah Mada yang sedemikian kuat di Majapahit. Penaklukan
Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat ini, Hayam Wuruk mengarahkan
politiknya ke arah stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa
pemberontakan di pulau "luar" seperti dari Palembang, yang minta bantuan
Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu
pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan
Majapahit dan ekspedisi Cina itu pun diluluhlantakkan. Dalam pandangan
spiritual penulis Gajah Mada tidak dibunuh oleh Hayam Wuruk, namun dia
begitu melihat sudah tak ada lagi kepercayaan dari sang Raja, dia
menggunakan taktiknya untuk menghilangkan diri dari wilayah
pengasingannya dengan diam-diam dia berangkat dengan membawa pasukan
atau prajuritnya yang setia sampai mati sebanyak 40 orang berlayar
menuju negeri asal kelahirannya yakni pulau Buton. Setelah melalui
perjalanan panjang dari pulau Sumatera menuju pulau Buton Gajah Mada dan
rombongan prajuritnya melewati kepulauan tukang besi yang sekarang
dikenal dengan Wakatobi. Perlu diketahui bahwa Gajah Mada adalah seorang
sakti mandraguna sebagaimana kesaktian yang dimiliki oleh ayahnya Si
Jawangkati sehingga dalam perjalannya pulau ke pulau Buton dia dituntun
secara ghaib dan mendapatkan petunjuk-petunjuk spiritual. Oleh karena
itu setelah melewati pulau Wangi-Wangi, Gajah Mada singgah dengan
prajurit setianya sebentar disalah satu pulau kecil di bagian barat
kepulauan Wangi-Wangi dengan memasang simbol-simbol disana. Pada saat
rombongan Gajah Mada singgah di pulau ini dia disambut dengan baik oleh
penghuni yang sudah lama mendiami pulau kecil ini diperkirakan
pertengahan Abad XI yang tak lain adalah merupakan para hulubalang dan
bajak laut (bajak laut tobelo). Para bajak laut di pulau ini terdiri
dari sebagian besar adalah para prajurit Raja Khan yang berkuasa di
Kamaru pertengahan abad IX dan sebagian asal Mingindanau, Papua, Tobelo,
Lanun, Balangingi. Setelah beberapa saat Gajah Mada menyinggahi pulau
kecil ini dalam pelariannya ke pulau Buton, akhirnya berdasarkan
petunjuk ghaib, Gajah Mada memutuskan untuk wafat di pulau ini,
sementara ke 40 prajurit setianya diperintahkan untuk melanjutkan
perjalannya menuju pulau Buton dengan maksud agar kerahasiaan Maha Patih
Gajah Mada yang amat sakti ini tetap terjaga. Gajah Mada akhirnya di
pulau kecil sebelah barat wangi-wangi tersebut memutuskan untuk
melakukan tapah brata didalam sebuah gua di wilayah Togo Mo'ori yang
mana situasi gua tersebut didalamnya datar tembus ke laut dalam dan
disanalah Maha Patih Gaja Mada meninggalkan alam maya padah ini dalam
keadaan duduk bersemedi dengan salah satu bagian tangannya menggenggam
cakram sebagai salah satu senjata andalannya. Bukti-bukti ontologisme
dari salah seorang tua pertapa yang pernah menemukan Gajah Mada dalam
gua ini pernah menkisahkan secara terbatas dalam kalangan keluarga
tertentu di pulau wangi-wangi, karena ada rasa ketakutan luar biasa
ketika melihat sosok orang tak bergerak dalam keadaan duduk bersemedi
dalam sebuah bagian gua di pulau kecil tersebut. Selain itu bukti-bukti
secara artifak sejarah yang belum terpublikasi dan hanya dikonsumsi dari
kalangan metafisis penduduk salah satu desa yang terdapat di pulau
wangi-wangi telah diriwayatkan oleh leluhurnya secara turun temurun
adanya segumpal batu muncul kepermukaan laut ketika air laut surut dan
batu ini dinamai batu Mada. Pengamatan secara spiritual setelah melalui
pemantauan khusus secara metafisis, menunjukkan bahwa keberadaan batu
Mada ini merupakan simbol yang sengaja dibuat oleh Gajah Mada, dimana
dibawa batu tersebut diperkirakan merupakan penyimpangan sebuah
selendang warna kuning yang konon dikisahkan sebagai selendang sakti.
Sedangkan
ke 40 orang prajurit setianya berlabuh di Batauga salah satu wilayah
pulau Buton terdekat dari kepulauan wangi-wangi, dan merekapun setelah
tiba di wilayah ini tidak begitu lama berselang kemudian mencari sebuah
gua yang lebar dan luas. Dan di dalam gua inilah ke 40 orang prajurit
setia Maha Patih Gajah Mada melakukan semedi berbulan-bulan sampai
mereka semua meninggal secara bersamaan dan terkubur secara alamiah di
dalam gua ini. Keberadaan Gua ini di Batauga di kenal dengan nama Gua
Mada tepatnya terdapat di desa Masiri, kampung Mada di Batauga pulau
Buton. Berdasarkan kisah konseptual, spiritual dan ontologisme riwayat
Maha Patih Gajah Mada, maka postulat dapat disimpulkan bahwa Gajah Mada
merupakan anak pertama dari Si Jawangkati dengan ibu bernama Lailan
Mangrani yang tak lain adalah anak perempuan dari Raden Wijaya sebagai
Raja Majapahit. Si Jawangkati adalah salah seorang mia patamiana wolio
yang pada zamannya dia memiliki kesaktian yang luar biasa dan disegani
dikalangan penguasa pada saat itu. Masih diperlukan penelitian secara
aksiologis untuk menguak tabir kisah Maha Patih Gaja Mada yang penuh
dengan misterius selama ini oleh para ahli antropolog budaya, ahli
ethnologis, ahli arkiologis dan ahli sejarah guna mendapatkan suatu
naskah sejarah Indonesia yang benar sekaligus mengangkat harkat dan
martabat orang-orang buton pada zamannya. ****
*). Penulis adalah Ketua Umum Lembaga KABALI -Indonesia (bergerak sibidang pelestaran nilai-nilai tradisi, sejarah dan budaya Keraton Liya) .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar