Oleh : La Ode Saruhu
Pada hari Selasa tanggal 8 November 2010 tepat jam 15.30 waktu Liya Togo telah dikukuhkan LEMBAGA ADAT LIYA KABUPATEN WAKATOBI
oleh 4 Kepala Desa atau yang mewakili antara lain Kepala Desa Lagundi,
Wakil Kepala Desa Liya Togo, Kepala Desa One Melangka dan Kepala Desa
Liya Mawi bertempat di Baruga Keraton Liya. Sayang pada acara yang
sakral ini tidak dilanjutkan dengan pelantikan secara adat yakni
Pengambilan Sumpah Lakina Liya yang dilakukan oleh Bonto Ogena kepada Ketua Lembaga Adat Liya yakni La Ode Maliku.
yang disaksikan oleh Keturunan dari Meantu'u Solodadhu (polisi) dan
Meantu'u Kontabitara (hakim) sehingga terkesan biasa-biasa acara
pelantikan ini karena saja tidak memiliki pesan phisikologis bagi
masyarakat Liya Besar. Apalagi pada kesempatan tersebut tidak dihadirkan
Kepala Desa Wisata Kolo, padahal desa Kolo merupakan bagian wilayah
administrasi desa semasa masih ada Lakina di masa kerajaan Liya.
Namun
demikian keseluruhan rangkaian kegiatan pangukuhan cukup berjalan baik
sebagaimana diharapkan meskipun ada salah seorang peserta undangan
bernama La Ode Oni dari keturunan
Yarona Konta Bitara memberikan beberapa pesan moral kepada seluruh
perangkat Lembaga Adat tersebut dan diharapkan pesan moral ini dapat
menjadi masukan positif dalam menjalankan tugas mulia kemasyarakatan
sebagaimana diamanahkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3
Tahun 1997 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1999 tentang Lembaga Adat.
Kepada
semua masyarakat Liya besar diharapkan dapat mendukung pelaksanaan
kerja Lembaga Adat Liya Kabupaten Wakatobi ini sekaligus bersama-sama
mengawal dan mengawasi kebijakan yang di lakukan oleh Lembaga Adat ini
supaya segala keputusan benar-benar berpihak kepada masyarakat secara
adil bagi siapa saja yang memerlukan.
Tugas
utama saat ini yang mesti segera diselesaikan oleh Pengurus Lembaga
Adat Liya ini adalah segera menyusun AD dan ART dan menerbitkan Akte
Notaris untuk keperluan Pemberian SK oleh Pemerintah Daerah Sulawesi
Tenggara dan melapor ke SKPD Kesatuan Bangsa untuk mendapat lisensi
setelah melalui litsus oleh Polda Sultra. Kemudian tugas kedua adalah
segera mendorong pemerintah daerah kabupaten wakatobi untuk menyiapkan
draf usulan Rencana Peraturan Daerah Tentang Lembaga Adat di wilayah
Kabupaten Wakatobi. Setelah semua persyaratan memenuhi suarat barulah
Lembaga Adat Kadie Liya ini bisa mulai bekerja sesuai alur program kerja
yang tertuang dalam AD dan ART Lembaga ini.
Mudah-mudahan
setelah terbentuknya dan mulai kerja Lembaga ini dapat menyelesaikan
seubrik persoalan tanah adat yang menjadi sengketa di wilayah ini baik
perorangan maupun antara desa utamanya pada tanah-tanah adat milik sara
Liya yang saat ini menjadi kontroversial.
Komunitas Adat Liya
Peran Lembaga Adat Liya
Dalam
implementasi otonomi daerah, idealnya Lembaga Adat Kadie Liya Kabupaten
Wakatobi dapat memiliki kontribusi sebagai komponen masyarakat yang ada
di daerah. Peranan di sini dimaksudkan adalah tentang perihal apa yang
dapat dilakukan Lembaga Adat Kadie Liya dalam masyarakat sebagai
organisasi kemasyarakatan.
Lembaga
adat Kadie Liya berkedudukan sebagai wadah organisasi permusyawaratan/
permufakatan para pengurus adat, pemuka-pemuka adat/masyarakat yang
berada di luar susunan organisasi pemerintahan Kaupaten Wakatobi.
Adapun tugas Lembaga Adat Liya berikut ini penulis kutip rumusan dari PERMENDAGRI No.3 Tahun 1997 sebagai berikut:
- menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada Pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat;
- memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan;
- menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah
Selanjutnya Lembaga Adat Liya Kabupaten Wakatobi memiliki hak dan wewenang sebagai berikut :
- mewakili masyarakat adat ke luar. yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat;
- mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik;
- menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan- kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Lembaga Adat Liya Kabupaten Wakatobi berkewajiban
diantaranya memelihara stabilitas nasional dan daerah dan menciptakan
suasana yang dapat menjamin tetap terpeliharanya kebhinekaan masyarakat
adat dalam rangka memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk menjalankan tugas-tugas, hak, wewenang dan kewajiban sebagaimana dimaksud di atas, Lembaga Adat Kadie Liya mempunyai fungsi melaksanakan kegiatan-kegiatan pendataan dalam
rangka menyusun kebijaksanaan dan strategi untuk mendukung kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan pembangunan dan mendukung
keberhasilan pembinaan masyarakat.
Identitas adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan rnasyarakat dan Lembaga Adat Liya harus jelas. Identifikasi itu meliputi :
a). Nama dan/atau istilah yang digunakan.
b). Struktur, sistem status adat atau jabatan adat.
c). Struktur wilayah adat.
d). Kegiatan masyarakat adat yang berpola.
e). Pranata serta perangkat norma-norma adat termasuk di dalamnya hak-hak
dan kewajiban masyarakat adat serta anggota masyarakat adat.
f). Sistem sanksi hukum adat.
g). Kekayaan serta hak milik masyarakat adat dan atau kelompok adat.
h). Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan adat istiadat.
Penutup
Nilai-nilai
budaya kita yang luhur itu sebagai sistem nilai memang seharusnya
ditempatkan pada tataran yang ideal dan tinggi untuk mampu membangun
ketahanan budaya dari jajahan mental dan segala bentuk pengurasan dan
penindasan berikutnya oleh pihak luar. Namun demikian bukan berarti
masyarakat adat harus mengisolasikan diri dari pengaruh luar, karena
"sejarah dan ilmu antropologi memperlihatkan bahwa tidak ada satu
kebudayaanpun di dunia ini yang bisa berkembang subur dengan
isolasionisme. Kebudayaan suatu bangsa, senantiasa adalah kebudayaan
campuran (metisage)", ujar L. Lenghor,
mantan Presiden Senegal-5. Oleh karena itu masyarakat adatpun harus
bersifat terbuka karena mau tidak mau, suka atau tidak suka, tidak ada
pilihan lain dalam menghadapi era globalisasi.
Kita
berharap implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 15 Ayat (m) yang mana
disebutkan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewajiban melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai adat suatu daerah pada akhirnya dapat
menampung dinamika masyarakat lokal dan mampu mengakomodasikan
keanekaragaman struktur dan kultur yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat adat ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar