OLEH : ARADEA ROFIXS
Jika
bercerita tentang kerajaan Singasari. Maka, yang terlintas dibenak
kita pasti: cerita tentang dendam yang panjang. Tentang pembunuhan
berantai. Juga tentang kelicikan-kelicikan yang mengerikan — yang
terjadi dalam “sebuah perang dingin” disebuah istana nan megah. Mendung
gelap serta pertumpahan darah yang tak berkesudahan. Yang selalu
mewarnai lingkaran suksesi Raja-raja di Kerajaan Singasari itu ‘konon’
menurut Kitap Pararaton: dendam membara itu sampai berlarut-larut dari
generasi ke generasi.
Masih menurut Pararaton: semua pembunuhan yang terjadi selain bermula
dari kutukan Mpu Gandring seorang Pembuat Keris yang dibantai oleh
Kenarok — untuk melenyapkan “saksi” kunci terhadap rencana yang telah ia
susun sebelumnya. Juga karena doa dari seorang pertapa yang bernama
Mpu Purwa ayah dari Kendedes yang memohon agar semua keturunannya dapat
menjadi Raja.
Jika Mpu Gandring menyanggupi membuat keris dalam jangka Setahun tapi
Ken Arok, baru lima bulan sudah datang. Lalu, Kerispun diambil dan
Sang-Mpu melarang karena belum selesai. Sampai terjadi perebutan sengit
yang berujung pada Kematian sang-Mpu tersebut. Betapa sangat
mengerikan. Kutukan tersebut mampu membakar ambisi. Menyalakan api
dendam. Dan seperti ada suhu panas di hati mereka; dari Kenarok sampai
kepada para keturunannya baik Keturunannya yang notabene adalah
bangsawan dan orang-orang berpengaruh pada masa-nya. Bisa-bisanya
sampai mereka mengubur dalam-dalam rasa persaudaraan.
Dari sinilah “NILAI” lebih-nya dari sebuah sejarah. Sesungguhnya kita
bisa mengambil sebuah pelajaran yang sangat berharga: yakni “Nngunduh
woh-ing Pakarti” (memetik buah dari apa yang kita tanam) Ketika “Wangsa
Rajasa” yang dibangun oleh Ken Arok dengan menghempaskan Tunggul
Ametung kemudian memperistri Kendedes istri Tunggul Ametung yang waktu
itu tengah hamil 3 bulan — pun akhirnya harus menuai buah dendam yang
panjang dari para keturunannya di kemudian hari.
Tak terkecuali, pada kenaikan tahta Anusapati —- putra sulung KenDedes
dengan Tunggul Ametung — yang harus membunuh ayah tirinya yakni
Kenarok, terlebih dahulu. Kenarok mati tertikam sebilah keris yang
dahulunya pernah digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung.*1). Hal itu
dilakukan Anusapati setelah ia mengetahui duduk perkara — tentang
insiden kematian ayahnya — dari ibunya sendiri Kendedes yang juga istri
Ken Arok. Dia; Kendedes adalah orang yang menyaksikan secara langsung
peristiwa pembunuhan tersebut. Tertulis dalam Kitab Pararaton,
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1244m.
Anusapati membunuh Kenaroh dengan menyuruh seorang pembunuh bayaran
dan setelah pembunuh bayaran tersebut berhasil melaksanakan tugasnya.
Anusapati pun membunuh pembunuh bayaran tersebut, guna menghilangkan
jejak. Dan, Anusapati pun naik tahta menjadi Raja ke 2.
Namun Anusapati tidak begitu lama berkuasa di Singasari. Ia hanya
menjadi Raja sekitar 2 tahun. Yakni dari tahun 1247m sampai 1249m ketika
pada tahun itu juga, Paji Tohjaya yang dalam “setatusnya masih adik
tiri Anusapati” — setelah mendengar kabar berhembus, jika yang membunuh
ayahnya ‘Kenarok’ adalah Anusapati — maka ia merencanakan pembunuhan
terhadap Anusapati.
Perencanaan pembunuhan yang sangat menarik serta “licik” yaitu dengan
memanfaatkan kesenangan Anusapati yakni ’sabung ayam’. Maka dalam sebuah
arena sabung ayam yang sudah direncanakan itu, Tohjaya pun menikam
Anusapati yang tengah lengah, dengan menggunakan keris Mpu Gandring
kembali.
(Tohjaya adalah anak pertama KenArok dari permaisuri kedua yakni Ken
Umang.) Dalam prasasti “Mula Malurung” disebutkan pada waktu itu
Tohjaya berkedudukan sebagai Raja Kediri yang bersetatus Raja bawahan
Singasari. Akan tetapi se-meninggalnya Anusapati. Akhirnya Tohjaya-red
berkuasa di kerajaan Singasari. (namun dalam Negarakertagama tak ada
nama Tohjaya tertulis sebagai Raja Singasari. Mungkin karena
kekuasaannya yang singkat. Jadi ia diindikasikan sebagai sebuah
pembrontakan apalagi kitab “Negarakertagama” yang ditulis oleh Mpu
Prapanca pada masa pemerintahan Hayamwuruk adalah kakawin yang
diperuntukkan sebagai persembahan leluhurnya “Kendedes”. Sedang Tohjaya
adalah bukan anak Ken Dedes) meski dalam Pararaton Ia dicatat berkuasa
selama setahun yakni dari tahun 1249m sampai 1250.
Lalu kemudian dalam sebuah insiden yang cukup dramatis pula, ia; Tohjaya dibunuh oleh orang-orang kepercayaan-nya sendiri.
“Diceritakan dalam kitab Pararaton: ketika Tohjaya minta pendapat dari
para mantri, Nhayaka dan Pranapaja tentang sosok kedua keponakannya
yakni ‘Ranggawuni anak dari Anusapati, cucu Ken Dedes dengan Tunggul
Ametung’ serta ‘Mahesa Cempaka putra Maahisa Wonga Teleng, cucu Ken
Dedes dengan Ken Arok’. Para Nhayaka kemudian berpendapat jika mereka
berdua-red tak ubahnya seperti duri dalam daging yang lambat laun —
hanya menunggu saat tepat — dan, jika ada kesempatan mereka pasti akan
balas dendam dan merebut tahta yang sesungguhnya masih hak mereka.”
Maka Tohjaya segera menyuruh senopati Lembu Ampal untuk melenyapkan
mereka berdua. Dengan satu ancaman “Jika mereka berdua (Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka) tidak mati. Maka, sebagai gantinya adalah nyawanya Lembu
Ampal sendiri”
Masih dalam naskah pararaton: diceritakan, konon rencana pembunuhan
yang akan dilakukan Lembu Ampal tersebut tercium oleh Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka sehingga mereka berdua pun menyembunyikan diri.
Al-hasil Lembu Ampal pun gagal melaksanakan tugasnya. Karena tak
menemukan buruannya dan ia ketakutan sendiri — karena “kegagalan”
artinya sama dengan kematian. Lalu, ia pun menyembunyikan diri. Namun,
dalam persembunyiannya Lembu Ampal tak sengaja, justru bertemu dengan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dan Lembu Ampal pun berserah, minta ampun
dan berbalik mengabdi pada mereka berdua.
Selanjutnya berkat siasat Lembu Ampal — Dengan menghasut segenap warga;
mengadu domba antara orang-orang Rajasa dengan orang-orang sinelir
maka terjadilah huru-hara dikerajaan, sampai akhirnya ditengah-tengah
huru hara tersebut Tohjaya ditemukan dalam keadaan tewas, terbunuh.*1)
Selanjutnya Ranggawuni pun naik tahta. Menjadi Raja Singasari ke 3 ia
bergelar Wisnuwardhana. Dan, memimpin Singasari bersama sama Mahisa
Cempaka yang bergelar Narasingmurti, selama 14 tahun .
Rangga Wuni dan Mahisa Cempaka adalah “Dwi tunggal” (satu kesatuan yang
tak terpisahkan) yang dapat menyatukan dua kubu antara keturunan Ken
Arok dengan keturunan Tunggul Ametung yang sama-sama berasal dari Ken
Dedes. Mereka berdua sama-sama menyebut dirinya sebagai Raja dalam satu
kerajaan dan mereka pun saling menghormati satu sama lainnya. sehingga
suksesi berikutnya pun tak ada lagi pembunuhan berdarah. Dimana
Kertanegara anak dari Rangga wuni pun naik tahta menjadi Raja ke 4
Singasari, dengan damai dan tentram. Dibantu oleh putra Mahisa Cempaka
yakni Dyah Lembu Tal, yang saling bekerja sama, bahu membahu.
PEMBRONTAKAN JAYAKATWANG
Pembrontaan Jayakatwang atau Jayakatong bermula dari hasutan Arya
wiraraja. Dia; Wiraraja-red adalah Bupati Sumeneb — yang kecewa terhadap
kepemimpinan Kertanegara, Raja Singasari — karena kepindahannya ke
Sumeneb, bermula karena ke tidak sepahamannya dengan cara-cara
kepemimpinan Kertanegara. Lalui karena sikap kritisnya itu, ia-pun
dimutasi ke sumenep. Sedangkan Jayakatwang adalah Bupati gelang-gelang —
itu sesungguhnya masih saudara sepupu Kertanegara. Karena dalam
prasasti “Mula Murung” disebutkan Jayakatwang masih keponakan
Wisnuwardhana atau Ranggawuni ayah dari Kertanegara.
Akan tetapi Jayakatwang sendiri masih merupakan cicit dari Kertajaya
raja kediri terakhir yang dikalahkan Ken Arok. (di duga: kalau
Jayakatwang menjadi sepupu kertanegara karena ikatan perningkahan dengan
anggota keluarga Keraton Singasari atau bisa dibilang ‘yang ada tali
darahnya dengan Singasari adalah istrinya Jayakatwang yang bernama
Turukbali’, seperti yang tertera dalam prasasti Mula Murung) makanya,
seperti disebut dalam tembang Harasawijaya: Jayakatwang konon amat
dendam pada wangsa Rajasa karena alasannya jelas. Bahwa nenek moyangnya
yakni “Kertajaya” dibunuh Kenarok, pendiri wangsa Rajasa.
Dan, kebencian Jayakatwang tersebut sudah menjadi rahasia umum. Jadi
dengan mudah Arya Wiraraja dapat mengendus hal tersebut — Sehingga, Arya
wiraraja mengutus putranya “wirondaya” yang tujuannya menyarankan
supaya Jayakatwang membrontak Singasari. Karena waktunya sudah tepat.
Sebab Singasari tengah kosong karena para Prajurit-nya banyak yang ikut
sertakan dalam ekspedisi menaklukkan kerajaan Melayu di luar Jawa.
Seperti yang disebutkan dalam kidung Harasawijaya pula: dalam
penyerangan tersebut Jayakatwang lebih menggunakan taktik Arya Wiraraja.
Ia menyerang dari utara dengan pasukan kecil. Dan, ketika Kertanegara
mendengar dari telik sandi jika kerajaannya diserang — ia pun mengutus
menantunya, putra Dyah Lembu Tal yakni Raden Wijaya untuk menghadapi
pasukan Gelang-gelang dengan membawa semua pasukan yang ada. Akan
tetapi, meskipun Raden Wijaya menang; mampu menahan serangan tersebut.
Tapi, serangan itu bukan serangan yang sesungguhnya. Maka datanglah
serangan kedua yang datang dari arah selatan dengan dipimpin Kebo
Mundarang serta jumlah pasukan yang lebih besar. Karena pasukan
Singasari tengah dibawa ke utara semua, maka istana pun kosong dan
pasukan Gelang-Gelang dapat dengan leluasa menyerang. Sampai,
Kartanegara pun Tewas dalam serangan tersebut.
Setelah Singasari runtuh pada tahun 1292, Jayakatwang pun membangun
kembali kejayaan Krajaan Kediri yang waktu itu telah menjadi kerajaan
bawahan singasari yakni Kadipaten Kediri.
Lalu Raden Wijaya pun — atas saran Arya Wira raja ia menyerahkan diri.
Dan atas sikapnya juga saran dari Arya Wiraraja pula, selain dia di
ampuni dia juga diberi hadiah ”pampasan” berupa tanah dihutan Tarik.
MUNCULNYA KERAJAAN MAJAPAHIT
Raden Wijaya adalah satu-satunya garis keturunan Kerajaan Singasari
yang tersisa yakni dia adalah cicit Ken-arok sedangkan anak Kertanegara
semuanya berjumlah 4 orang adalah putri Semua. Karena mereka hidup
pada masa pengungsian — semula yang dikawini Raden Wijaya hanya 2 —
tapi akhirnya ke empat-empatnya putri dari Kertanegara tersebut
dijadikan istri Raden Wijaya semuanya.
(bersambung)......