OLEH : RAHEN
Untuk
di Pulau Buton, tokoh ini dikenal sebagai BETOAMBARI. Juga, tokoh
ini-lah yang sebenarnya merupakan sang DUNGKU CANG YANG (karena
penulisan semacam Dung Ku Cang Yang atau Dungku Shang Hyang, dll..,
membuat orang-orang selama ini mengira bahwa sang pemilik nama adalah
panglima tentara Mongol).
Lebih
jauh, PRAPANCA atau GAJAH MADA adalah ayah dari HAYAM WURUK, dimana
selama ini oleh dunia diinterpretasikan bahwa HAYAM WURUK adalah anak
dari TRIBUANA TUNGGADEWI.”
Oya….hampir
lupa, sang PRAPANCA atau GAJAH MADA atau DUNGKU CANG YANG atau
BETOAMBARI adalah adik dari WA KAA KAA (istri pertama dari SIBATARA atau
RADEN WIJAYA). Keduanya (GAJAH MADA & WA KAA KAA) merupakan anak
dari SIPANJONGA atau PRABU KERTANAGARA. Dari keduanya itu-lah kemudian
menurunkan PARAMASUNI yang merupakan leluhur saya, baik dari garis bapak
atau-pun ibu saya (sebenarnya saya ingin menulis-kan sebagai leluhur
para TANAILANDU, cuman jangan sampai ada yang nantinya khawatir akan
dicemooh orang lain, jadi saya tulis saja sebagai leluhur saya).
Saya
sangat-sangat berterima kasih ke my brother SZFK yang sudah mengirimkan
“SIWULU RAJA & SULTAN BUTUNI”, sehingga saya dapat mengoreksi ulang
diagram silsilah saya sendiri, baik dari garis bapak (“jalur” salah
seorang Lakina Liya – Sultan Oputa Ikoo) ataupun garis ibu saya (“jalur”
Sultan Oputa Talumbulana – Abdul Ganiyu “Kenepulu Bula”), sekaligus
mencerahkan saya pribadi tentang “misteri” sang Dungku Cang Yang.
Sekali
lagi.., terima kasih banyak brother SZFK (sebelum melihat SIWULU,
“darah” Lakina Liya yang saya maksudkan dengan “darah” Abdul Ganiyu, di
diri saya, awalnya saya “baca” adalah bertemu di sultan ke-26, padahal
yang sebenarnya adalah di Sultan
Di
atas saya sudah sebut bahwa ayah dari PRAPANCA atau GAJAH MADA adalah
PRABU KERTANAGARA. Tentang hal ini, saya pikir, saya adalah orang
pertama yang menyimpulkan seperti itu. Saya tidak asal menyimpulkan
terkait hal ini. Bagaimanapun, sebagaimana saya nisbatkan diri saya pada
kedua tokoh itu, maka saya tidak akan “gila-gila ayam” untuk asal
membuat kesimpulan, karena itu semua pada akhirnya akan kembali pada
nama saya (juga nama keluarga besar). Saya sudah mencoba mengkaji dari
banyak aspek & sisi untuk sampai pada kesimpulan itu. Awalnya saya
sama sekali tidak pernah berpikir bahwa saya adalah turunan dari
nama-nama tokoh di atas. Perjalanan keisengan saya untuk mencoba
menggali tentang sejarah Buton yang benar yang menjadikan saya tahu
mengenai garis siwulu untuk diri saya sendiri. Yah.., saya anggap saja
itu bonus & salah 1 anugerah dari ALLAH.
Ayah
dari sang pujangga insya ALLAH adalah seorang pujangga juga. Setidaknya
seorang penikmat karya sastra. Coba perhatikan sekeliling kita,
utamanya coba perhatikan mereka-mereka yang kita ketahui atau “curigai”
memiliki “darah” bangsawan (spesifiknya: turunan sultan). Pada suka
menulis & membaca kan mereka-mereka itu..? Yah.., walaupun kadang
tulisannya itu hanyalah sesuatu yang ISENG atau sekedar ingin
menulis-nulis saja & tidak sampai atau tidak mesti diterbitkan.
Benar “nda..?
Demikian pula, mereka-mereka itu pada rajin shalat (meski kadang masih suka ada yang “bolong-bolong”), iya kan..?
Silahkan
baca sumber-sumber sejarah yang masih ada terkait diri PRABU
KERTANAGARA. Sudah banyak sumber yang saya baca yang menyebutkan bahwa
sang prabu adalah pemuka agama. Namun, para penulis sejarah banyak yang
memandangnya melakukan “ritual aneh”. Padahal, andai kita bisa
memahaminya & membawakannya pada diri kita saat ISENG mempelajari
TASAWUF, maka itu insya ALLAH dapat dipahami atau dimengerti.
Baik, PRABU KERTANAGARA, GAJAH MADA, ataupun HAYAM WURUK, semuanya adalah pemuka agama di era & tempatnya masing-masing. Mereka semua (ketiganya adalah turunan wangsa RAJASA) adalah MUSLIM yang taat, sama halnya dengan leluhur mereka, yakni: KEN AROK, sang pendiri wangsa RAJASA. Oya, tahu-kah siapa ayah dari KEN AROK..? Ayahnya adalah PRABU JAYABAYA (sedikit lebih lengkap, namanya adalah PRABU SRI HAJI JAYABAYA), salah seorang raja besar di Kediri yang meramalkan tentang akan terjadinya “KIAMAT” di 2012.
Baik, PRABU KERTANAGARA, GAJAH MADA, ataupun HAYAM WURUK, semuanya adalah pemuka agama di era & tempatnya masing-masing. Mereka semua (ketiganya adalah turunan wangsa RAJASA) adalah MUSLIM yang taat, sama halnya dengan leluhur mereka, yakni: KEN AROK, sang pendiri wangsa RAJASA. Oya, tahu-kah siapa ayah dari KEN AROK..? Ayahnya adalah PRABU JAYABAYA (sedikit lebih lengkap, namanya adalah PRABU SRI HAJI JAYABAYA), salah seorang raja besar di Kediri yang meramalkan tentang akan terjadinya “KIAMAT” di 2012.
Sedikit
saya menyinggung tentang “ramalan” PRABU JAYABAYA tentang “kiamat” di
2012 yang bahkan oleh sejumlah kaum muslim sendiri menganggap itu
sebagai propaganda sesat.
Yang
sebenarnya adalah PRABU JAYABAYA memprediksi itu berdasarkan
hitung-hitungan matematis dari sejumlah hadist tentang HARI KIAMAT
(tidak pakai tanda petik atau tanda kutip), dengan ditunjang pengetahuan
tentang penanggalan. Coba cari & baca hadist-hadist tentang hari
akhir, terus iseng-iseng hitung. Insya ALLAH akan mendapat angka tahun
sekitar 2012 sebagai tahun akan terjadinya “sesuatu” (bukan KIAMAT
BESAR). Hitung-hitungan saya sendiri masih meleset beberapa tahun
(karena cuma ISENG menghitung sambil lalu, secara kasaran saja..),
dimana untuk ini saya benar-benar mengagumi kemampuan & ketekunan
PRABU JAYABAYA. Apalagi sejak masa itu sepertinya sudah mengetahui
tentang perubahan lama masa edar matahari, dimana ini baru disadari
dalam 1 atau 2 bulan ini (kalau tidak salah..) oleh ahli-ahli di masa
sekarang, dengan ditandai dengan “pemberlakuan” 1 zodiac baru.
Kembali ke hal tentang mereka-mereka sebagai penganut Islam, bukan agama lain, semisal: Buddha atau Hindu…
Kembali ke hal tentang mereka-mereka sebagai penganut Islam, bukan agama lain, semisal: Buddha atau Hindu…
Terkait hal ini, sebenarnya saya lebih tertarik untuk kita semua menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
1). Kapan pertama kali lahirnya atau munculnya ajaran agama Buddha atau Hindu di dunia ini..?
2). Siapakah sang “tokoh” Siddharta Gautama..?
3). Kepada siapa-kah sebenarnya disematkan atau ditujukan nama-nama: Dewi Kuan Im, Dewa Siwa, dll.
Ada yang menduga bahwa agama Buddha, sang Buddha, serta Siddharta Gautama itu rekaan dari bangsa Inggris saja, seiring ditemukannya (digali dari tanah yang menimbunnya) Candi Borobudur pada akhir abad ke-20. Dengan membaca pahatan-pahatan di relief-relief candi itu, plus gubahan-gubahan (kakawin atau prosa) di sekitar masa pemerintahan (sebelum, selama, & sesudah) PRABU JAYABAYA maka lahirlah tokoh-tokoh dalam agama Buddha & Hindu (begitu antara lain yang pernah saya dengar). Yang saya dengar lagi adalah: Dewi Kuan Im itu sebenarnya dimaksudkan untuk sosok BUNDA MARIA. Adapun yang saya baca di kamus Jawa Kuna yang saya sudah sebutkan di komentar saya sebelumnya, jelas dinyatakan bahwa Dewa Siwa sesungguhnya ditujukan untuk NABI ISA.
Ada yang menduga bahwa agama Buddha, sang Buddha, serta Siddharta Gautama itu rekaan dari bangsa Inggris saja, seiring ditemukannya (digali dari tanah yang menimbunnya) Candi Borobudur pada akhir abad ke-20. Dengan membaca pahatan-pahatan di relief-relief candi itu, plus gubahan-gubahan (kakawin atau prosa) di sekitar masa pemerintahan (sebelum, selama, & sesudah) PRABU JAYABAYA maka lahirlah tokoh-tokoh dalam agama Buddha & Hindu (begitu antara lain yang pernah saya dengar). Yang saya dengar lagi adalah: Dewi Kuan Im itu sebenarnya dimaksudkan untuk sosok BUNDA MARIA. Adapun yang saya baca di kamus Jawa Kuna yang saya sudah sebutkan di komentar saya sebelumnya, jelas dinyatakan bahwa Dewa Siwa sesungguhnya ditujukan untuk NABI ISA.
Saya
kembali ingin menekankan untuk membaca langsung pada sumber-sumber
asli, semisal kakawin & prasasti. Silahkan iseng-iseng terjemahkan
isi peninggalan-peninggalan sejarah yang ada. Insya ALLAH nanti akan
membaca bahwa jauh sebelum masa GAJAH MADA, misal di masa Kerajaan
Sriwijaya, para raja-raja & masyarakat di Asia Tenggara sesungguhnya
sudah menganut Islam.
Cobalah
iseng untuk membuka-buka kamus Jawa Kuna, terus coba terjemahkan
kalimat-kalimat yang mengandung kata: BUDDHA & kata-kata yang agak
mirip dengan kata itu.
Insya
ALLAH nantinya akan menyadari bahwa kata itu bukanlah mengandung arti
seperti yang sudah DI-TANAM-PAKSA-KAN ke hampir semua orang.
“dalam
pupuh 18/4 dapat kita dapati lambang kerajaan Majapahit yang sama
sekali jauh tak sama dengan lambAng kesultanan Buton. PRAPANCA menulis
ketika raja majapahit berangkat ke lumajang, ia diiringi oleh para
pembesar senegara. kereta yang dikendarai sang prabu mempunyai 'cihna'
atau tanda pengenal. tanda pengenal itu sama nilainya dengan lambang
negara dengan dasar pola sebagai berikut; gerinsing merah (gherinsing
lobheng lewi laka), lambangnya buah maja atau wilwa...”
Menurut
saya, sebaiknya jangan tanggung.., cobalah juga untuk meragukan atau
mempertanyakan tentang lambang KERAJAAN – KESULTANAN BUTON.
Pertanyakanlah dulu tentang:
- Bagaimana & kapan sebenarnya munculnya lambang KERAJAAN – KESULTANAN BUTON..?
- Benarkah itu sudah seperti itu lambang KERAJAAN – KESULTANAN BUTON..?
Dengan
mulai berangkat dari pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, maka saya
yakin kita akan bisa objektif untuk melihat & menyimpulkan mengenai
suatu hal.
Yang
salah kaprah di hampir semua kita adalah menelan bulat-bulat semua yang
dinyatakan atau ditulis oleh para penulis sejarah Indonesia, dimana
sialnya hampir semuanya adalah orang Belanda & bangsa Eropa lainnya.
Kalau
di disiplin ilmu saya, ketika meneliti semisal: SEJARAH geologi suatu
daerah, kami diminta untuk MERAGUKAN KEBENARAN DARI SEMUA KESIMPULAN
TERKAIT
HAL ITU (meskipun itu hasil penilitian dari seorang atau sekumpulan
profesor), sampai akhirnya kami membuktikan sendiri bahwa kesimpulan itu
sudah benar.
Jadi,
pertanyakanlah tentang lambang yang ada, terlebih kalau tidak salah di
masa KESULTANAN BUTON kalau tidak salah pernah terjadi 1 atau 2
peristiwa kebakaran besar & “bumi hangus” kan..?
“mengenai
lambang yang berupa wilwa atau maja itu dikisahkan sangat jelas dalam
Kidung Panji Wijayakrama IV/86-87, kidung yang sampai kini masih
diceritakan. dikisahkan bahwa orang-orang madura datang di tanah tandus
Tarik namanya. mereka datang untuk menebangi hutan dan ilalang. ketika
mereka lapar, mereka masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan.
dlam hutan mereka bertemu dengan banyak pohon yang sedang berbuah.
segera mereka memetik buah itu, lalu dimakan. namun rasanya pahit pedas
sekali. yang tidak suka, melepehnya keluar, yang makan menjadikan mereka
mabuk. buah itu adalah buah maja atau buah wilwa. oleh karena itu,
daerah hutan yang dibuka itu kenudian diberi nama Wilwatikta atau
MAJAPAHIT..”
Lagi-lagi
saya mengingatkan mengenai pentingnya untuk kita membaca langsung dari
“tulisan asli” tentang kidung itu. Juga penting dicatat bahwa untuk
merekonstruksi suatu sejarah tidaklah bisa hanya dari 1 kidung saja.
Informasi atau pesan dari suatu kidung harus dibandingkan dengan
data-data atau info-info dari sumber-sumber lainnya, sehingga nantinya
dapat diperoleh “STATISTIK KEBENARAN” untuk dipakai dalam merekonstruksi
suatu sejarah secara utuh.
Saya
hanya menyoroti pada kalimat terakhir, yakni: “oleh karena itu, daerah
hutan yang dibuka itu kenudian diberi nama Wilwatikta atau MAJAPAHIT”.
Benarkah termuat isi atau makna seperti itu..? Bukannya cuman berhenti
di WILWATIKTA (tidak ada tambahan: “atau MAJAPAHIT”) saja…?
APA ITU “WILWATIKA”?
Begini..,
memang benar bahwa ada suatu kerajaan yang sangat besar pada "masa
itu". Namun, namanya bukan Maja-pahit. Mahapatih kerajaan itu benar
adalah Gajah Mada (seterusnya tulis saja: Gajah Mada; ejaan Gadjah Mada
itu cuman karena pengaruh ejaan sebelum EYD saja..).
Sebelumnya kita "bedah" bersama apa makna Tikta - Wilwa (kata-kata dalam bahasa Sanskrit atau Sanskrta).
Dalam
'Old Javanese - English Dictionary' (terbitan KITLV, 1982; versi
terjemahan Indonesia-nya oleh: Darusuprata & Sumarti Suprayitna),
P.J. Zoetmulder yang bekerja sama dengan S.O. Robson menerka-nerka
(menebak..) arti dari kedua kata itu, dimana kedua kata itu SEBENARNYA
(FAKTANYA) tidak hanya termuat dalam kakawin Nagarakrtagama saja, tetapi
juga dalam Sutasoma, kidung Harsa-Wijaya & beberapa kakawin
lainnya.
Sekali
lagi, untuk dicatat & diperhatikan, kedua penyusun kamus Jawa Kuna
(Kuno) itu hanya MENERKA-NERKA saja arti kedua kata itu.
Kata 'WILWA' diartikan keduanya sebagai: 'MAJA, jenis pohon yang khas dengan buahnya'.
Kedua kata 'WILWA' - 'TIKTA' diartikan keduanya sebagai: 'MAJA PAHIT'.
(Padahal
itu terlalu CEROBOH, soalnya sebagai contoh dalam kakawin
Nagarakrtagama saja menuliskan itu terbalik, semisal: "sang Gajah Mada
patih ring tiktawilwadhika").
Kata 'TIKTA' diartikan keduanya sebagai:
1). pahit, pedas
2). bagian hati yang paling dalam; juga: empedu?
Perhatikan,
pada arti yang kedua mereka tidak yakin, adapun untuk arti pertama
terlihat relasi yang TIDAK ELOK antara masing-maing arti (yakni: 'PAHIT'
- 'PEDAS').
Saat
melihat kalimat-kalimat dalam kakawin atau kidung yang mengandung kata
'TIKTA' (secara utuh atau kesatuan kalimat), menurut saya lebih tepatnya
kata itu diartikan sebagai:
- "SESUATU", dimana itu dapat berupa: OBAT, BUAH, AGAMA, HUKUM/PERATURAN, LAUT, CINTA, BERCINTA/BERSENGGAMA.
- INTI atau PUSAT
Untuk
kata 'WILWA', berdasarkan alasan yang sama (yakni membaca &
mengartikan secara utuh dalam kalimat-kalimat yang mengandung kata itu),
menurut saya kata 'WILWA' sebenarnya atau aslinya masih merupakan 2
suku kata, yaitu: 'WIL' & WA'.
.Menurut kamus di atas, kata 'WIL' sama dengan 'WIWIL", dimana diartikan sebagai: 'RAKSASA'.
Kata 'WA' (menurut kamus itu) memiliki arti yang sama dengan :
- kata 'AWA', 'AWAWA' & 'MAWA', dimana diartikan sebagai: 'KEMILAU, TERANG, BERCAHAYA, BERSINAR.
- kata 'NAWA', dimana diartikan sebagai: 'SEMBILAN'.
Dengan
masing-masing arti kata 'WIL' & 'WA' di atas, saya mencoba
mengartikan secara utuh kalimat-kalimat di kakawin & kidung yang
mengandung kata-kata: 'TIKTA', 'WIL', & 'WA'.
Sebagai contoh: "sang Gajah Mada patih ring tiktawilwadhika", artinya adalah:
- Sang Gajah Mada (merupakan) patih di inti atau di pusat "RAKSASA" yang sangat bersinar atau sangat bercahaya.
- Sang Gajah Mada (merupakan) patih di inti atau di pusat SEMBILAN RAKSASA utama.
Saya
benar-benar obyektif mencari-cari apakah ada diantara kerajaan-kerajaan
di Asia Tenggara yang meng-klaim diri sebagai "inti atau pusat
raksasa", juga setidaknya mempunyai "sembilan raksasa".
Saya hanya menemukan KERAJAAN BUTUN yang memiliki kedua "hal" di atas.
Bahwa KERAJAAN BUTUN adalah "inti atau pusat bumi (BUMI = WILAYAH "RAKSASA), sekaligus BUTUN terdiri atas 'SIOLIMBONA'.
Silahkan cari dimana adanya bendera-bendera kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Asia Tenggara.
Insya
ALLAH, bendera-bendera kerajaan-kerajaan terdahulu (semisal: Kerajaan
Sriwijaya, Kerajaan Kediri, Kerajaan Padjadjaran, Kerajaan Singosari,
Kerajaan Samudera Pasai, dll) itu adanya di Baadia.*****
by
at 6:54 pm
Labels: eksistensi gajahmada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar