Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi

Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi
Pohon Melai

Rabu, 26 Oktober 2011

EKSISTENSI PARAPANCA, GAJAH MADA, HAYAM WURUK, PARABUWIJAYA DAN KONSTELASINYA TERHADAP LIYA DAN BUTON

OLEH : RAHEN



PRAPANCA yang menulis kakawin Nagarakrtagama sebenarnya adalah GAJAH MADA, dimana dirinya adalah orang LIYA.

Untuk di Pulau Buton, tokoh ini dikenal sebagai BETOAMBARI. Juga, tokoh ini-lah yang sebenarnya merupakan sang DUNGKU CANG YANG (karena penulisan semacam Dung Ku Cang Yang atau Dungku Shang Hyang, dll.., membuat orang-orang selama ini mengira bahwa sang pemilik nama adalah panglima tentara Mongol).

Lebih jauh, PRAPANCA atau GAJAH MADA adalah ayah dari HAYAM WURUK, dimana selama ini oleh dunia diinterpretasikan bahwa HAYAM WURUK adalah anak dari TRIBUANA TUNGGADEWI.”

Oya….hampir lupa, sang PRAPANCA atau GAJAH MADA atau DUNGKU CANG YANG atau BETOAMBARI adalah adik dari WA KAA KAA (istri pertama dari SIBATARA atau RADEN WIJAYA). Keduanya (GAJAH MADA & WA KAA KAA) merupakan anak dari SIPANJONGA atau PRABU KERTANAGARA. Dari keduanya itu-lah kemudian menurunkan PARAMASUNI yang merupakan leluhur saya, baik dari garis bapak atau-pun ibu saya (sebenarnya saya ingin menulis-kan sebagai leluhur para TANAILANDU, cuman jangan sampai ada yang nantinya khawatir akan dicemooh orang lain, jadi saya tulis saja sebagai leluhur saya).

Saya sangat-sangat berterima kasih ke my brother SZFK yang sudah mengirimkan “SIWULU RAJA & SULTAN BUTUNI”, sehingga saya dapat mengoreksi ulang diagram silsilah saya sendiri, baik dari garis bapak (“jalur” salah seorang Lakina Liya – Sultan Oputa Ikoo) ataupun garis ibu saya (“jalur” Sultan Oputa Talumbulana – Abdul Ganiyu “Kenepulu Bula”), sekaligus mencerahkan saya pribadi tentang “misteri” sang Dungku Cang Yang.

Sekali lagi.., terima kasih banyak brother SZFK (sebelum melihat SIWULU, “darah” Lakina Liya yang saya maksudkan dengan “darah” Abdul Ganiyu, di diri saya, awalnya saya “baca” adalah bertemu di sultan ke-26, padahal yang sebenarnya adalah di Sultan 

Di atas saya sudah sebut bahwa ayah dari PRAPANCA atau GAJAH MADA adalah PRABU KERTANAGARA. Tentang hal ini, saya pikir, saya adalah orang pertama yang menyimpulkan seperti itu. Saya tidak asal menyimpulkan terkait hal ini. Bagaimanapun, sebagaimana saya nisbatkan diri saya pada kedua tokoh itu, maka saya tidak akan “gila-gila ayam” untuk asal membuat kesimpulan, karena itu semua pada akhirnya akan kembali pada nama saya (juga nama keluarga besar). Saya sudah mencoba mengkaji dari banyak aspek & sisi untuk sampai pada kesimpulan itu. Awalnya saya sama sekali tidak pernah berpikir bahwa saya adalah turunan dari nama-nama tokoh di atas. Perjalanan keisengan saya untuk mencoba menggali tentang sejarah Buton yang benar yang menjadikan saya tahu mengenai garis siwulu untuk diri saya sendiri. Yah.., saya anggap saja itu bonus & salah 1 anugerah dari ALLAH.

Ayah dari sang pujangga insya ALLAH adalah seorang pujangga juga. Setidaknya seorang penikmat karya sastra. Coba perhatikan sekeliling kita, utamanya coba perhatikan mereka-mereka yang kita ketahui atau “curigai” memiliki “darah” bangsawan (spesifiknya: turunan sultan). Pada suka menulis & membaca kan mereka-mereka itu..? Yah.., walaupun kadang tulisannya itu hanyalah sesuatu yang ISENG atau sekedar ingin menulis-nulis saja & tidak sampai atau tidak mesti diterbitkan. Benar “nda..?

Demikian pula, mereka-mereka itu pada rajin shalat (meski kadang masih suka ada yang “bolong-bolong”), iya kan..?
Silahkan baca sumber-sumber sejarah yang masih ada terkait diri PRABU KERTANAGARA. Sudah banyak sumber yang saya baca yang menyebutkan bahwa sang prabu adalah pemuka agama. Namun, para penulis sejarah banyak yang memandangnya melakukan “ritual aneh”. Padahal, andai kita bisa memahaminya & membawakannya pada diri kita saat ISENG mempelajari TASAWUF, maka itu insya ALLAH dapat dipahami atau dimengerti.


 Baik, PRABU KERTANAGARA, GAJAH MADA, ataupun HAYAM WURUK, semuanya adalah pemuka agama di era & tempatnya masing-masing. Mereka semua (ketiganya adalah turunan wangsa RAJASA) adalah MUSLIM yang taat, sama halnya dengan leluhur mereka, yakni: KEN AROK, sang pendiri wangsa RAJASA. Oya, tahu-kah siapa ayah dari KEN AROK..? Ayahnya adalah PRABU JAYABAYA (sedikit lebih lengkap, namanya adalah PRABU SRI HAJI JAYABAYA), salah seorang raja besar di Kediri yang meramalkan tentang akan terjadinya “KIAMAT” di 2012.

Sedikit saya menyinggung tentang “ramalan” PRABU JAYABAYA tentang “kiamat” di 2012 yang bahkan oleh sejumlah kaum muslim sendiri menganggap itu sebagai propaganda sesat.
Yang sebenarnya adalah PRABU JAYABAYA memprediksi itu berdasarkan hitung-hitungan matematis dari sejumlah hadist tentang HARI KIAMAT (tidak pakai tanda petik atau tanda kutip), dengan ditunjang pengetahuan tentang penanggalan. Coba cari & baca hadist-hadist tentang hari akhir, terus iseng-iseng hitung. Insya ALLAH akan mendapat angka tahun sekitar 2012 sebagai tahun akan terjadinya “sesuatu” (bukan KIAMAT BESAR). Hitung-hitungan saya sendiri masih meleset beberapa tahun (karena cuma ISENG menghitung sambil lalu, secara kasaran saja..), dimana untuk ini saya benar-benar mengagumi kemampuan & ketekunan PRABU JAYABAYA. Apalagi sejak masa itu sepertinya sudah mengetahui tentang perubahan lama masa edar matahari, dimana ini baru disadari dalam 1 atau 2 bulan ini (kalau tidak salah..) oleh ahli-ahli di masa sekarang, dengan ditandai dengan “pemberlakuan” 1 zodiac baru.

 Kembali ke hal tentang mereka-mereka sebagai penganut Islam, bukan agama lain, semisal: Buddha atau Hindu…
Terkait hal ini, sebenarnya saya lebih tertarik untuk kita semua menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:

1). Kapan pertama kali lahirnya atau munculnya ajaran agama Buddha atau Hindu di dunia ini..?
2). Siapakah sang “tokoh” Siddharta Gautama..?
3). Kepada siapa-kah sebenarnya disematkan atau ditujukan nama-nama: Dewi Kuan Im, Dewa Siwa, dll.

 Ada yang menduga bahwa agama Buddha, sang Buddha, serta Siddharta Gautama itu rekaan dari bangsa Inggris saja, seiring ditemukannya (digali dari tanah yang menimbunnya) Candi Borobudur pada akhir abad ke-20. Dengan membaca pahatan-pahatan di relief-relief candi itu, plus gubahan-gubahan (kakawin atau prosa) di sekitar masa pemerintahan (sebelum, selama, & sesudah) PRABU JAYABAYA maka lahirlah tokoh-tokoh dalam agama Buddha & Hindu (begitu antara lain yang pernah saya dengar). Yang saya dengar lagi adalah: Dewi Kuan Im itu sebenarnya dimaksudkan untuk sosok BUNDA MARIA. Adapun yang saya baca di kamus Jawa Kuna yang saya sudah sebutkan di komentar saya sebelumnya, jelas dinyatakan bahwa Dewa Siwa sesungguhnya ditujukan untuk NABI ISA.

Saya kembali ingin menekankan untuk membaca langsung pada sumber-sumber asli, semisal kakawin & prasasti. Silahkan iseng-iseng terjemahkan isi peninggalan-peninggalan sejarah yang ada. Insya ALLAH nanti akan membaca bahwa jauh sebelum masa GAJAH MADA, misal di masa Kerajaan Sriwijaya, para raja-raja & masyarakat di Asia Tenggara sesungguhnya sudah menganut Islam.

Cobalah iseng untuk membuka-buka kamus Jawa Kuna, terus coba terjemahkan kalimat-kalimat yang mengandung kata: BUDDHA & kata-kata yang agak mirip dengan kata itu.
Insya ALLAH nantinya akan menyadari bahwa kata itu bukanlah mengandung arti seperti yang sudah DI-TANAM-PAKSA-KAN ke hampir semua orang.
“dalam pupuh 18/4 dapat kita dapati lambang kerajaan Majapahit yang sama sekali jauh tak sama dengan lambAng kesultanan Buton. PRAPANCA menulis ketika raja majapahit berangkat ke lumajang, ia diiringi oleh para pembesar senegara. kereta yang dikendarai sang prabu mempunyai 'cihna' atau tanda pengenal. tanda pengenal itu sama nilainya dengan lambang negara dengan dasar pola sebagai berikut; gerinsing merah (gherinsing lobheng lewi laka), lambangnya buah maja atau wilwa...”

Menurut saya, sebaiknya jangan tanggung.., cobalah juga untuk meragukan atau mempertanyakan tentang lambang KERAJAAN – KESULTANAN BUTON.

Pertanyakanlah dulu tentang:
  1. Bagaimana & kapan sebenarnya munculnya lambang KERAJAAN – KESULTANAN BUTON..?
  2. Benarkah itu sudah seperti itu lambang KERAJAAN – KESULTANAN BUTON..?

Dengan mulai berangkat dari pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, maka saya yakin kita akan bisa objektif untuk melihat & menyimpulkan mengenai suatu hal.

Yang salah kaprah di hampir semua kita adalah menelan bulat-bulat semua yang dinyatakan atau ditulis oleh para penulis sejarah Indonesia, dimana sialnya hampir semuanya adalah orang Belanda & bangsa Eropa lainnya.
Kalau di disiplin ilmu saya, ketika meneliti semisal: SEJARAH geologi suatu daerah, kami diminta untuk MERAGUKAN KEBENARAN DARI SEMUA KESIMPULAN
TERKAIT HAL ITU (meskipun itu hasil penilitian dari seorang atau sekumpulan profesor), sampai akhirnya kami membuktikan sendiri bahwa kesimpulan itu sudah benar.

Jadi, pertanyakanlah tentang lambang yang ada, terlebih kalau tidak salah di masa KESULTANAN BUTON kalau tidak salah pernah terjadi 1 atau 2 peristiwa kebakaran besar & “bumi hangus” kan..?
“mengenai lambang yang berupa wilwa atau maja itu dikisahkan sangat jelas dalam Kidung Panji Wijayakrama IV/86-87, kidung yang sampai kini masih diceritakan. dikisahkan bahwa orang-orang madura datang di tanah tandus Tarik namanya. mereka datang untuk menebangi hutan dan ilalang. ketika mereka lapar, mereka masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan. dlam hutan mereka bertemu dengan banyak pohon yang sedang berbuah. segera mereka memetik buah itu, lalu dimakan. namun rasanya pahit pedas sekali. yang tidak suka, melepehnya keluar, yang makan menjadikan mereka mabuk. buah itu adalah buah maja atau buah wilwa. oleh karena itu, daerah hutan yang dibuka itu kenudian diberi nama Wilwatikta atau MAJAPAHIT..”

Lagi-lagi saya mengingatkan mengenai pentingnya untuk kita membaca langsung dari “tulisan asli” tentang kidung itu. Juga penting dicatat bahwa untuk merekonstruksi suatu sejarah tidaklah bisa hanya dari 1 kidung saja. Informasi atau pesan dari suatu kidung harus dibandingkan dengan data-data atau info-info dari sumber-sumber lainnya, sehingga nantinya dapat diperoleh “STATISTIK KEBENARAN” untuk dipakai dalam merekonstruksi suatu sejarah secara utuh.
Saya hanya menyoroti pada kalimat terakhir, yakni: “oleh karena itu, daerah hutan yang dibuka itu kenudian diberi nama Wilwatikta atau MAJAPAHIT”. Benarkah termuat isi atau makna seperti itu..? Bukannya cuman berhenti di WILWATIKTA (tidak ada tambahan: “atau MAJAPAHIT”) saja…?

APA ITU “WILWATIKA”?

Begini.., memang benar bahwa ada suatu kerajaan yang sangat besar pada "masa itu". Namun, namanya bukan Maja-pahit. Mahapatih kerajaan itu benar adalah Gajah Mada (seterusnya tulis saja: Gajah Mada; ejaan Gadjah Mada itu cuman karena pengaruh ejaan sebelum EYD saja..).
Sebelumnya kita "bedah" bersama apa makna Tikta - Wilwa (kata-kata dalam bahasa Sanskrit atau Sanskrta).

Dalam 'Old Javanese - English Dictionary' (terbitan KITLV, 1982; versi terjemahan Indonesia-nya oleh: Darusuprata & Sumarti Suprayitna), P.J. Zoetmulder yang bekerja sama dengan S.O. Robson menerka-nerka (menebak..) arti dari kedua kata itu, dimana kedua kata itu SEBENARNYA (FAKTANYA) tidak hanya termuat dalam kakawin Nagarakrtagama saja, tetapi juga dalam Sutasoma, kidung Harsa-Wijaya & beberapa kakawin lainnya.

Sekali lagi, untuk dicatat & diperhatikan, kedua penyusun kamus Jawa Kuna (Kuno) itu hanya MENERKA-NERKA saja arti kedua kata itu.
Kata 'WILWA' diartikan keduanya sebagai: 'MAJA, jenis pohon yang khas dengan buahnya'.

Kedua kata 'WILWA' - 'TIKTA' diartikan keduanya sebagai: 'MAJA PAHIT'.
(Padahal itu terlalu CEROBOH, soalnya sebagai contoh dalam kakawin Nagarakrtagama saja menuliskan itu terbalik, semisal: "sang Gajah Mada patih ring tiktawilwadhika").
Kata 'TIKTA' diartikan keduanya sebagai:

1). pahit, pedas
2). bagian hati yang paling dalam; juga: empedu?

Perhatikan, pada arti yang kedua mereka tidak yakin, adapun untuk arti pertama terlihat relasi yang TIDAK ELOK antara masing-maing arti (yakni: 'PAHIT' - 'PEDAS').

Saat melihat kalimat-kalimat dalam kakawin atau kidung yang mengandung kata 'TIKTA' (secara utuh atau kesatuan kalimat), menurut saya lebih tepatnya kata itu diartikan sebagai:

  • "SESUATU", dimana itu dapat berupa: OBAT, BUAH, AGAMA, HUKUM/PERATURAN, LAUT, CINTA, BERCINTA/BERSENGGAMA.
  • INTI atau PUSAT
Untuk kata 'WILWA', berdasarkan alasan yang sama (yakni membaca & mengartikan secara utuh dalam kalimat-kalimat yang mengandung kata itu), menurut saya kata 'WILWA' sebenarnya atau aslinya masih merupakan 2 suku kata, yaitu: 'WIL' & WA'.

.Menurut kamus di atas, kata 'WIL' sama dengan 'WIWIL", dimana diartikan sebagai: 'RAKSASA'.

Kata 'WA' (menurut kamus itu) memiliki arti yang sama dengan :
  1. kata 'AWA', 'AWAWA' & 'MAWA', dimana diartikan sebagai: 'KEMILAU, TERANG, BERCAHAYA, BERSINAR.
  2. kata 'NAWA', dimana diartikan sebagai: 'SEMBILAN'.
Dengan masing-masing arti kata 'WIL' & 'WA' di atas, saya mencoba mengartikan secara utuh kalimat-kalimat di kakawin & kidung yang mengandung kata-kata: 'TIKTA', 'WIL', & 'WA'.

Sebagai contoh: "sang Gajah Mada patih ring tiktawilwadhika", artinya adalah:
  1. Sang Gajah Mada (merupakan) patih di inti atau di pusat "RAKSASA" yang sangat bersinar atau sangat bercahaya.
  2. Sang Gajah Mada (merupakan) patih di inti atau di pusat SEMBILAN RAKSASA utama.

Saya benar-benar obyektif mencari-cari apakah ada diantara kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang meng-klaim diri sebagai "inti atau pusat raksasa", juga setidaknya mempunyai "sembilan raksasa".

Saya hanya menemukan KERAJAAN BUTUN yang memiliki kedua "hal" di atas.
Bahwa KERAJAAN BUTUN adalah "inti atau pusat bumi (BUMI = WILAYAH "RAKSASA), sekaligus BUTUN terdiri atas 'SIOLIMBONA'.

Silahkan cari dimana adanya bendera-bendera kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Asia Tenggara.
Insya ALLAH, bendera-bendera kerajaan-kerajaan terdahulu (semisal: Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Kediri, Kerajaan Padjadjaran, Kerajaan Singosari, Kerajaan Samudera Pasai, dll) itu adanya di Baadia.*****

Tidak ada komentar: