Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi

Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi
Pohon Melai

Rabu, 26 Oktober 2011

SEKILAS TAPAK PERJALANAN GAJAH MADA DI PULAU WANGI-WANGI SEBELUM MOKSA

OLEH : ALI HABIU


Beberapa referensi menyebutkan bahwa Gajah Mada wafat tahun 1364 M, akibat diasingkan dan dihianati oleh Hayam Wuruk sebagai suatu buntut peristiwa BUBAT dimana Gajah Mada di singkirkan ke wilayah Madakaripura dan hidup Gajah Mada di wilayah itu asketis (setabasri01.blogspot.com) Terdapat sejumlah tulisan yang menyebut bahwa ia menderita sakit ataupun dibunuh oleh Raja Hayam Wuruk bernama Rajasanagara sendiri yang khawatir akan pengaruh politik Gajah Mada yang sedemikian kuat di Majapahit. Penaklukan Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat ini.  Hayam Wuruk mengarahkan politiknya ke arah stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau "luar" seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina itu pun diluluhlantakkan.
Dalam pandangan spiritual penulis Gajah Mada tidak dibunuh oleh Hayam Wuruk, namun dia begitu melihat sudah tak ada lagi kepercayaan dari sang Raja, dia menggunakan taktiknya untuk menghilangkan diri dari wilayah pengasingannya dengan diam-diam dia berangkat dengan membawa pasukan atau prajuritnya yang setia sampai mati sebanyak 40 orang berlayar menuju negeri asal kelahirannya yakni pulau Buton. Setelah melalui perjalanan panjang dari pulau Sumatera menuju pulau Buton Gajah Mada dan rombongan prajuritnya melewati kepulauan tukang besi yang sekarang dikenal dengan Wakatobi.
Perlu diketahui bahwa Gajah Mada adalah seorang sakti mandraguna sebagaimana kesaktian yang dimiliki oleh ayahnya Si Jawangkati sehingga dalam perjalannya pulau ke pulau Buton dia dituntun secara ghaib dan mendapatkan petunjuk-petunjuk spiritual. Oleh karena itu setelah melewati pulau Wangi-Wangi, Gajah Mada singgah dengan prajurit setianya sebentar disalah satu pulau kecil di bagian barat kepulauan Wangi-Wangi yakni pulau Oroho (dalam cerita pewayangan dikenal dengan nama pulau Kunyi) dengan memasang simbol-simbol disana.
 
Pada saat rombongan Gajah Mada singgah di pulau ini dia disambut dengan baik oleh penghuni yang sudah lama mendiami pulau kecil ini diperkirakan pertengahan Abad XI yang tak lain adalah merupakan para hulubalang dan bajak laut (bajak laut tobelo). Para bajak laut di pulau ini terdiri dari sebagian besar adalah para prajurit Raja Khan yang berkuasa di Kamaru -Buton pertengahan abad IX dan sebagian asal Mingindanau, Papua, Tobelo, Lanun, Balangingi. Setelah beberapa saat Gajah Mada menyinggahi pulau kecil ini dalam pelariannya ke pulau Buton, akhirnya berdasarkan petunjuk ghaib, Gajah Mada memutuskan untuk wafat (moksa) di pulau ini.  Sementara ke 40 prajurit setianya diperintahkan untuk menyingkir sementara di pulau Sumanga yang letaknya tak jauh dari pulau Oroho  untuk membuat  hunian sementara dan beristirahat disana sebelum melanjutkan perjalannya menuju pulau Buton dengan maksud agar kerahasiaan Maha Patih Gajah Mada yang amat sakti ini tetap terjaga.
Sebelum Gajah Mada Moksa di pulau Oroho, dia sempat untuk beberapa saat berkunjung ke pulau Wangi-Wangi sebab disana sudah ada kerajaan kecil yang dibangun oleh Mahisa Cempaka yakni tepatnya di Liya. Gajah Mada sering berkunjung ke wilayah ini dan pada suatu hari tanpa sengaja bertemu dengan orang sakti bernama Wakunduru tepatnya di wilayah Mandati Tonga. Wakunduru ini adalah seorang sakti yang amat ditakuti di wilayah Wangi-wangi ketika itu, maka terjadilah pergulatan antara Gajah Mada sebagai orang pendatang dengan Wakunduru. Dalam perhelatan tersebut Wakunduru akhirnya tewas ditangan Gajah Mada dengan menyembelih Lehernya. Setelah itu Gajah Mada mengubur Wakunduru di tempat pergulatan tersebut yang letaknya antara Mandati Tonga dengan Kapal Tosoro (Tordau) dan sebagai kenangan atas keberanian Wakunduru ini konon dikisahkan oleh masyarakat  lokal bahwa Gajah Mada menanam kepala Wakunduru beserta alat-alat perang Gajah Mada sebagai penghormatan terakhirnya. Adapun ukuran kuburan tua Wakunduru ini adalah 3,00 m x 8,00 m terdapat di hutan antara Pada Kuru Wanci dengan Kapala Tosoro (Tordau) Mandati pada  ketinggian 17 meter di atas permukaan laut.

Kuburan Wakunduru, didalamnya tersimpan
Peralatan Perang Gajah Mada

 Pada saat prajurit setianya telah meninggalkan pulau Sumanga menuju pulau Buton sebanyak 40 orang, mereka pamitan dengan Gajah Mada dan diperintahkan untuk memasuki pulau Buton di wilayah terdekat dari pulau Wangi-Wangi yakni tepatnya mereka masuk di teluk Pasar Wajo. Setelah rombongan 40 orang prajurit setia Gajah Mada ini masuk ke daratan langsung menuju pembukitan bernama Takimpo. Di Takimpo inilah menurut tutur rakyat setempat terdapat kuburan 40 orang prajurit Gajah Mada di desa ini termasuk kuburan Gajah Mada  dengan menunjuk gundukan pemakaman di daerah tersebut.  Namun demikian taktis prajurit setia Gajah Mada ini luar biasa dengan tujuan hanya sekedar untuk menghilangkan jejak-jekap perjalanan mereka mengingat baik Gajah Mada maupun para prajuritnya sedang di cari oleh penguasa Majapahit yakni Raja Hayam Wuruk. Tak lama prajurit Gajah Mada bermukim di Takimpo, lalu mereka mencari tempat lebih aman yakni dengan berjalan menelusuri pembukitan ke arah utara dan akhirnya mereka memilih desa Masiri Batauga sebagai tempat peristirahatan terakhir mereke. Selama para prajurit setia Gajah Mada bermukim di Takimpo, hubungan teliksandi antara Gajah Mada dengan para prajurit setianya tetap berlansung. Oleh karena itu di bentuklah prajurit teliksandi bernama : La Buri, La Paleiku dan La Kangka. Setiap ada keperluan baik Gajah Mada maupun para prajuritnya di utuslah ketiga orang tersebut dan setelah tiba di pulau Wangi-Wangi mereka langsung menuju jalan rahasia bernama Oa Buea. Tak jauh dari jalan rahasia Oa Buea tersebut terdapat Gua Mabasa tempat Gajah Mada melakukan tapah brata. Oa Buea ini terletak di tepi pulau Simpora  bagian Liya..

 
  Oa Buea merupakan pintu Rahasia Teliksandi 
Gajah Mada dalam Hubungan Prajuritnya

 Sebagai tanda alam tak jauh dari pintu rahasia teliksandi Gajah Mada ini terdapat Watu Mada yang kemungkinan sengaja dibuat batu ini sebagai lambang perjalanan jejak-jejak Majapahit di kepulauan Wangi-Wangi. Watu Mada ini sayang kondisi saat ini telah bergeser dari keadaan aslinya berdiri dengan jarak sekitar 14 meter arah laut dari keadaan saat ini. masyarakat yang merusak situs ini mungkin tidak mengetahui betapa besarnya nilainya jejak batuan ini dan untung saja masih diketemukan dijadikan tempat pijakan naik ke permukaan kebun pulau Simpora. Watu Mada atau Batu Mada terletak  ditepi pantai pulau Simpora.

 Situs Watu Mada yang telah di rusak


Gajah Mada akhirnya memutuskan untuk melakukan tapah brata didalam sebuah gua di wilayah Togo Mo'ori yang mana situasi gua tersebut didalamnya datar tembus ke laut dalam dan disanalah Maha Patih Gaja Mada meninggalkan alam maya padah ini dalam keadaan duduk bersemedi dengan salah satu bagian tangannya menggenggam cakram sebagai salah satu senjata andalannya.
Bukti-bukti ontologisme dari salah seorang tua pertapa yang pernah menemukan Gajah Mada dalam gua ini pernah menkisahkan secara terbatas dalam kalangan keluarga tertentu di pulau wangi-wangi, karena ada rasa ketakutan luar biasa ketika melihat sosok orang tak bergerak dalam keadaan duduk bersemedi dalam sebuah bagian gua di pulau kecil tersebut. Selain itu bukti-bukti secara artifak sejarah yang belum terpublikasi dan hanya dikonsumsi dari kalangan metafisis penduduk salah satu desa yang terdapat di pulau wangi-wangi telah diriwayatkan oleh leluhurnya secara turun temurun adanya segumpal batu muncul kepermukaan laut ketika air laut surut dan batu ini dinamai batu Mada. Pengamatan secara spiritual setelah melalui pemantauan khusus secara metafisis, menunjukkan bahwa keberadaan batu Mada ini merupakan simbol yang sengaja dibuat oleh Gajah Mada, dimana dibawa batu tersebut diperkirakan merupakan penyimpangan sebuah selendang warna kuning yang konon dikisahkan sebagai selendang sakti.

Sedangkan ke 40 orang prajurit setianya berlabuh di Batauga salah satu wilayah pulau Buton terdekat dari kepulauan wangi-wangi, dan merekapun setelah tiba di wilayah ini tidak begitu lama berselang kemudian mencari sebuah gua terbuka yang lebar dan luas. Dan di dalam gua terbuka inilah ke 40 orang prajurit setia Maha Patih Gajah Mada melakukan semedi berbulan-bulan sampai mereka semua meninggal secara bersamaan dan terkubur secara alamiah di dalam gua ini. Keberadaan Gua ini di Batauga di kenal dengan nama Gua Mada tepatnya terdapat di desa Masiri, kampung Mada di Batauga pulau Buton. Berdasarkan kisah konseptual, spiritual dan ontologisme riwayat Maha Patih Gajah Mada, maka postulat dapat disimpulkan bahwa Gajah Mada merupakan anak pertama dari Si Jawangkati dengan ibu bernama Lailan Mangrani yang tak lain adalah anak perempuan dari Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit. Si Jawangkati adalah salah seorang mia patamiana wolio yang pada zamannya dia memiliki kesaktian yang luar biasa dan disegani dikalangan penguasa pada saat itu.

Masih diperlukan penelitian secara aksiologis untuk menguak tabir kisah Maha Patih Gaja Mada yang penuh dengan misterius selama ini oleh para ahli antropolog budaya, ahli ethnologis, ahli arkiologis dan ahli sejarah guna mendapatkan suatu naskah sejarah Indonesia yang benar dalam  rangka merubah perjalanan sejarah Indonesia sesuai  zamannya. **** 
 

Tidak ada komentar: