OLEH : ALI HABIU
ORASI LATIHAN DASAR HONARI MOSEGA
Tari
Honari Mosega oleh masyarakat pewarisnya diregenerasikan sejak dini.
Masa lalu Honari Mosega merupakan latihan prajurit terpilih dalam
menguji kekuatan dan ketangkasan mereka berperang. Karena pentingnya
pelestarian Tari Tradisional ini maka saat ini telah dilatih pula
anak-anak dan generasi muda asal Liya untuk mengenal dan mencintai
Honari Mosega sebagai warisan berharga leluhurnya.
Tari
ini dimainkan oleh beberapa anak laki-laki, terdiri dari 1 (satu)
penari inti disebut tompidhe, dan 4 (empat) orang atau lebih dengan
jumlah genap sebagai hulubalang yang disebut manu-manu moane. Hanya
tompidhe yang dilengkapi dengan untaian gemerincing dan dalam gerakannya
akan selalu menimbulkan bunyi. Terdapat gerakan meloncat dan maju lalu
mundur secara beraturan yang disebut Makanjara, yang dilakukan karena
kegembiraan atas kemenangan dalam berperang.
Orasi dasar Tari Tradisional Honari Mosega ini dimainkan oleh Anak-anak kami Generasi Pelestari Kebudayaan Liya masa depan.
HONARI MOSEGA
Tari
Honari Mosega berasal dari Keraton Liya, yang kemudian pelestariannya
berkembang ke daerah-daerah sekitarnya. Honari Mosega merupakan Tari
Tradisonal kebanggaan masyarakat Liya dan berarti tarian berani, dahulu
di atraksikan sebelum dan sesudah perang, merupakan pengungkapan dan
motivasi dari semangat prajurit Liya ketika akan berperang mengusir
musuh dan kegembiraan karena pulang dengan kemenangan keberhasilan
menaklukan musuh.
Tari
ini dimainkan oleh beberapa laki-laki, terdiri dari 1 (satu) penari
inti disebut tompidhe, dan 4 (empat) orang atau lebih dengan jumlah
genap sebagai hulubalang yang disebut manu-manu moane. Kadang terdapat
pula hulubalang wanita yang disebut manu-manu wowine.
hanya
tompidhe yang dilengkapi dengan untaian gemerincing dan dalam
gerakannya akan selalu menimbulkan bunyi. Terdapat gerakan meloncat dan
maju lalu mundur secara beraturan yang disebut Makanjara, yang dilakukan
karena kegembiraan atas kemenangan dalam berperang.
HONARI WOWINE
Tarian
ini di peruntukan pada saat ada keramaian dan terutama pada saat
dilaksanakannya prosesi Karia, yakni prosesi pingitan muda mudi liya
yang telah memasuki masa dewasa atau aqil bhalig. Para penari hanya
dilakukan oleh wanita setengah baya. Mereka menari dengan diiringi
gendang. Sambil menari penari melantunkan syair-syair nasehat bagi
pasangan muda-mudi terutama yang sedang melaksanakan hajatan atau
pingitan.
TARI LARIYANGI LIYA/TOGONTO
Dahulu
Tarian ini di gunakan untuk strategi Perang dan Pengawasan Wilayah.
Kosentrasi Tarian berada pada Keraton Liya dan Barata Kaledupa.
Lariyangi Kaledupa para penarinya dilengkapi dengan kulit mutiara
(sekarang digantikan dengan cermin) yang diletakkan sebagai mahkota
penari, dimaksudkan agar dapat memantulkan cahaya sebagai kode untuk
mengetahui gerak gerik musuh atau tamu yang akan hadir dan berlabuh di
daratan. Pantulan cahaya biasanya dilakukan dengan gerakan memutar
dengan hitungan beberapa kali yang hanya di ketahui dan dimengerti oleh
para penjaga/hulubalang masing-masing wilayah agar bersiap siaga.
Sedikit berbeda dengan Lariyangi Liya atau Lariyangi Togonto.
Tariannya
identik dengan kelembutan dan kehalusan gemulai panarinya yang di
gambarkan dari Lenso (saputangan) dari gadis – gadis belia yang
tergambar pada syair-syair lagu yang dilantunkan. Tarian ini
diperuntukan untuk raja/sultan yang berkunjung ke keraton Liya bersama
dengan bangsawan lainnya. Sekarang Tari Lariyangi dipertontonkan dalam
rangka acara-acara seremonial, menyambut kedatangan masyarakat yang lama
di perantauan ataupun tamu luar daerah yang perlu diagungkan.
TARI MARIANTOMBO
Permainan
Muda Mudi dewasa Liya secara bersamaan sambil menari dan melatunkan
syair dan berbalas pantun hingga batas waktu yang telah ditentukan.
Mariantombo biasanya dilaksanakan pada saat Malam Bulan Purnama, dan
dijadikan pula sebagai sarana untuk mencari pasangan ideal bagi para
muda mudi Liya hingga ke proses perjodohan dan pertunanganan.
TARI WAKENTA
Tarian
ini menggambarkan Aktivitas kehidupan masyarakat Liya dahulu hingga
sekarang yang tergantung pada potensi laut dan isinya. Kekayaan dan
keanekaragaman hayati laut menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat
Liya sehingga profesi nelayan merupakan pilihan utama.
Rutinitas
kehidupan para nelayan dapat dilihat dari pementasan Tari Wakenta.
sejarah tari ini menceritakan tentang sekelompok nelayan yang turun ke
laut bersama-sama menangkap ikan . setelah mendapatkan ikan yang banyak.
Ikan tersebut dijual di pasar. Setelah ikan terjual habis, betapa
gembira hati para nelayan tersebut. Untuk meluapkan kegembiraannya,
para nelayan Liya tersebut mengadakan tarian dan bermain silat.
ATRAKSI POSEPA’A LIYA
Awalnya
merupakan latihan bela diri dan adu kekuatan bagi prajurit-prajurit
muda Keraton Liya, khususnya dalam mencari bakat siapa bakal calon yang
akan ditunjuk oleh Raja Liya menjadi prajurit dalam pasukan meantu'u
solodhadhu. Dahulu kala dalam mencari bakat prajurit dikalangan muda
sebelum dilakukan Posepaa, kedua belah telapak kaki yang akan melakukan
posepaa dipasangi sepatu yang terbuat dari bagian ruas bambu tebal
dimana bagian ujung yang mengapit ujung jari kaki dibuat tajam. Pada
saat dilakukan Posepaa sepatu bambu tadi yang telah dibuat tajam
disepakan ke lawan dan bila kena bagi lawan yang tangguh tidak akan
membekas sedikitpun dan lawan yang tangguh tersebut akan di daftar
sebagai calon prajurit kerajaan Liya.
Gerakan
Posephaa di apresiasikan dari karakter Raja Talo-Talo (Raja Liya I),
yang sering menggunakan kaki kanan dan kirinya secara bergantian ketika
bertarung memukul mundur musuh dari wilayah kekuasaannya.
Sekarang
Atraksi ini selalu dapat kita saksikan di Togo (kampung) Liya, didalam
Situs Benteng Liya, pada setiap Idul Fitri dan Idul Adha setiap
tahunnya.
Para
Pemain Laki-laki secara berkelompok membentuk lingkaran dan barisan
berjajar terdiri dari 5 hingga 7 orang perkelompok, dan masing masing
berpegang tangan untuk tetap bersatu tak berpisah. Kemudian masing –
masing kelompok pemuda saling menendang dan mengejar hingga salah satu
kelompok lainnya tercerai berai. Kelompok yang bertahan dan tetap
berpegang tangan adalah pemenangnya.
Selama
gerakan Posephaa, dilakukan teratur sesuai petunjuk guru/pawang
(tompidhe), diyakini bahwa tidak akan ada yang cedera, meski sekeras
apapun terkena tendangan dari lawannya.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar