Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi

Kuni Cra Liya o Wangi-Wangi
Pohon Melai

Kamis, 27 Oktober 2011

SINOPSIS PENTAS "GELAR SENI BUDAYA LIYA 2010" TANGGAL 20 NOVEMBER 2010 DI KERATON LIYA

OLEH : ALI HABIU


ORASI LATIHAN DASAR HONARI MOSEGA
Tari Honari Mosega oleh masyarakat pewarisnya diregenerasikan sejak dini. Masa lalu Honari Mosega merupakan latihan prajurit terpilih dalam menguji kekuatan dan ketangkasan mereka berperang. Karena pentingnya pelestarian Tari Tradisional ini maka saat ini telah dilatih pula anak-anak dan generasi muda asal Liya untuk mengenal dan mencintai Honari Mosega sebagai warisan berharga leluhurnya.
Tari ini dimainkan oleh beberapa anak laki-laki, terdiri dari 1 (satu) penari inti disebut tompidhe, dan 4 (empat) orang atau lebih dengan jumlah genap sebagai hulubalang yang disebut manu-manu moane. Hanya tompidhe yang dilengkapi dengan untaian gemerincing dan dalam gerakannya akan selalu menimbulkan bunyi. Terdapat gerakan meloncat dan maju lalu mundur secara beraturan yang disebut Makanjara, yang dilakukan karena kegembiraan atas kemenangan dalam berperang.
Orasi dasar Tari Tradisional Honari Mosega ini dimainkan oleh Anak-anak kami Generasi Pelestari Kebudayaan Liya masa depan. 

HONARI MOSEGA
Tari Honari Mosega berasal dari Keraton Liya, yang kemudian pelestariannya berkembang ke daerah-daerah sekitarnya. Honari Mosega merupakan Tari Tradisonal kebanggaan masyarakat Liya dan berarti tarian berani, dahulu di atraksikan sebelum dan sesudah perang, merupakan pengungkapan dan motivasi dari semangat prajurit Liya ketika akan berperang mengusir musuh dan kegembiraan karena pulang dengan kemenangan keberhasilan menaklukan musuh.
Tari ini dimainkan oleh beberapa laki-laki, terdiri dari 1 (satu) penari inti disebut tompidhe, dan 4 (empat) orang atau lebih dengan jumlah genap sebagai hulubalang yang disebut manu-manu moane. Kadang terdapat pula hulubalang wanita yang disebut manu-manu wowine.
hanya tompidhe yang dilengkapi dengan untaian gemerincing dan dalam gerakannya akan selalu menimbulkan bunyi. Terdapat gerakan meloncat dan maju lalu mundur secara beraturan yang disebut Makanjara, yang dilakukan karena kegembiraan atas kemenangan dalam berperang. 

HONARI WOWINE
Tarian ini di peruntukan pada saat ada keramaian dan terutama pada saat dilaksanakannya prosesi Karia, yakni prosesi pingitan muda mudi liya yang telah memasuki masa dewasa atau aqil bhalig. Para penari hanya dilakukan oleh wanita setengah baya. Mereka menari dengan diiringi gendang. Sambil menari penari melantunkan syair-syair nasehat bagi pasangan muda-mudi terutama yang sedang melaksanakan hajatan atau pingitan.

TARI LARIYANGI LIYA/TOGONTO
Dahulu Tarian ini di gunakan untuk strategi Perang dan Pengawasan Wilayah. Kosentrasi Tarian berada pada Keraton Liya dan Barata Kaledupa. Lariyangi Kaledupa para penarinya dilengkapi dengan kulit mutiara (sekarang digantikan dengan cermin) yang diletakkan sebagai mahkota penari, dimaksudkan agar dapat memantulkan cahaya sebagai kode untuk mengetahui gerak gerik musuh atau tamu yang akan hadir dan berlabuh di daratan. Pantulan cahaya biasanya dilakukan dengan gerakan memutar dengan hitungan beberapa kali yang hanya di ketahui dan dimengerti oleh para penjaga/hulubalang masing-masing wilayah agar bersiap siaga. Sedikit berbeda dengan Lariyangi Liya atau Lariyangi Togonto.
Tariannya identik dengan kelembutan dan kehalusan gemulai panarinya yang di gambarkan dari Lenso (saputangan) dari gadis – gadis belia yang tergambar pada syair-syair lagu yang dilantunkan. Tarian ini diperuntukan untuk raja/sultan yang berkunjung ke keraton Liya bersama dengan bangsawan lainnya. Sekarang Tari Lariyangi dipertontonkan dalam rangka acara-acara seremonial, menyambut kedatangan masyarakat yang lama di perantauan ataupun tamu luar daerah yang perlu diagungkan. 

TARI MARIANTOMBO
Permainan Muda Mudi dewasa Liya secara bersamaan sambil menari dan melatunkan syair dan berbalas pantun hingga batas waktu yang telah ditentukan. Mariantombo biasanya dilaksanakan pada saat Malam Bulan Purnama, dan dijadikan pula sebagai sarana untuk mencari pasangan ideal bagi para muda mudi Liya hingga ke proses perjodohan dan pertunanganan.
TARI WAKENTA
Tarian ini menggambarkan Aktivitas kehidupan masyarakat Liya dahulu hingga sekarang yang tergantung pada potensi laut dan isinya. Kekayaan dan keanekaragaman hayati laut menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Liya sehingga profesi nelayan merupakan pilihan utama.
Rutinitas kehidupan para nelayan dapat dilihat dari pementasan Tari Wakenta. sejarah tari ini menceritakan tentang sekelompok nelayan yang turun ke laut bersama-sama menangkap ikan . setelah mendapatkan ikan yang banyak. Ikan tersebut dijual di pasar. Setelah ikan terjual habis, betapa gembira hati para nelayan tersebut. Untuk meluapkan kegembiraannya, para nelayan Liya tersebut mengadakan tarian dan bermain silat. 

ATRAKSI POSEPA’A LIYA
Awalnya merupakan latihan bela diri dan adu kekuatan bagi prajurit-prajurit muda Keraton Liya, khususnya dalam mencari bakat siapa bakal calon yang akan ditunjuk oleh Raja Liya menjadi prajurit dalam pasukan meantu'u solodhadhu. Dahulu kala dalam mencari bakat prajurit dikalangan muda sebelum dilakukan Posepaa, kedua belah telapak kaki yang akan melakukan posepaa dipasangi sepatu yang terbuat dari bagian ruas bambu tebal  dimana bagian ujung yang mengapit ujung jari kaki dibuat tajam. Pada saat dilakukan Posepaa sepatu bambu tadi yang telah dibuat tajam disepakan ke lawan dan bila kena bagi lawan yang tangguh tidak akan membekas sedikitpun dan lawan yang tangguh tersebut akan di daftar sebagai calon prajurit kerajaan Liya.
Gerakan Posephaa di apresiasikan dari karakter Raja Talo-Talo (Raja Liya I), yang sering menggunakan kaki kanan dan kirinya secara bergantian ketika bertarung memukul mundur musuh dari wilayah kekuasaannya. 
 
Sekarang Atraksi ini selalu dapat kita saksikan di Togo (kampung) Liya, didalam Situs Benteng Liya, pada setiap Idul Fitri dan Idul Adha setiap tahunnya.
Para Pemain Laki-laki secara berkelompok membentuk lingkaran dan barisan berjajar terdiri dari 5 hingga 7 orang perkelompok, dan masing masing berpegang tangan untuk tetap bersatu tak berpisah. Kemudian masing – masing kelompok pemuda saling menendang dan mengejar hingga salah satu kelompok lainnya tercerai berai. Kelompok yang bertahan dan tetap berpegang tangan adalah pemenangnya.
Selama gerakan Posephaa, dilakukan teratur sesuai petunjuk guru/pawang (tompidhe), diyakini bahwa tidak akan ada yang cedera, meski sekeras apapun terkena tendangan dari lawannya.****
 

Tidak ada komentar: